Rabu, 27 Juli 2011

KETIKA TASBIH BERCINTA2


              “Hah, hampir saja kesiangan lagi!” seru Tasbih seraya melompat dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi setelah melihat jarum jam di angka 03.20 dini hari. Kesibukannya mempersiapkan ujian tesis membuat jam tidurnya seringkali larut. Akibatnya jadwal shalat tahajjud yang rutin dilaksanakannya kadang terlambat. Ia bertekad dalam semester ini sudah pulang ke negerinya dengan memboyong gelar Master. Ia sudah rindu kampung halamannya, rindu dengan keluarga yang telah ditinggalkannya hampir dua tahun terakhir, sejak ia memutuskan untuk melanjutkan kuliah masternya ke negeri Jiran, tepatnya di Universitas Kebangsaan Malaysia. Ia pikir, dengan keluar dari kotanya ia dapat lari dari kenangan pahitnya patah hati saat ditolak seorang wanita idamannya, Hanifa. Gadis jilbaber aktivis LDK yang telah menyebabkan titik balik gaya hidupnya saat ini hingga seratus delapan puluh derajat. Tasbih alias Boby yang dulunya playboy sejati kini telah menjadi pria yang merasa risih berdekatan dengan wanita bukan muhrim dan menundukkan pandangan ketika bertatapan dengan lawan jenisnya.
            Di keheningan malam, dalam sujudnya yang panjang, seringkali Tasbih tersedu saat mengingat prilaku jahiliyahnya di masa lalu. Entah sudah berapa wanita yang ia sakiti hatinya. Tak terhitung kata-kata bohong yang ia lontarkan untuk memuluskan status palsunya. Terkadang ia merasa sebagai manusia yang paling kotor ketika terbayang saat-saat berduaan dengan lawan jenis yang bukan muhrim. Tindakan-tindakan yang tak pantas dan dilarang keras agama sudah menjadi hal yang lumrah baginya saat itu. Berpacaran terasa hambar jika tanpa pegangan tangan dan berciuman atau bahkan yang lebih dari itu. Padahal sekecil apapun perbuatan dosa akan dipertanggung jawabkan di akhirat nanti.
            Kegundahan akan masa lalu kelamnya baru terhibur saat ia mengingat kata-kata DR. ‘Aidh al-Qarni dalam Lā Tahzan-nya: “Jangan pernah hidup dalam mimpi buruk masa lalu, atau di bawah payung gelap masa silam. Selamatkan diri anda dari bayangan masa lalu! Apakah anda ingin mengembalikan air sungai ke hulu, matahari ke tempatnya terbit, seorok bayi ke perut ibunya, air susu ke payudara sang ibu, dan air mata ke dalam kelopak mata? …Membaca kembali lembaran masa lalu hanya akan memupuskan masa depan, mengendurkan semangat, dan menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga”.
*  *  *
            Tak terasa dua tahun sudah Tasbih menjalani studinya. Ternyata usahanya selama ini tidak sia-sia setelah dalam ujian tesis ia dinyatakan lulus dengan predikat summa cum laude. Segera Tasbih bersujud syukur karena ia sadar semua ini karena pertolongan dari Allah SWT. Kemudian setelah berterima kasih kepada para dewan penguji ia segera menghubungi Amir Musthafa, rekannya yang berasal dari kota yang sama dengannya dan sedang menempuh program Doktoral di universitas yang sama pula. Seringkali Amir menjadi teman diskusinya bukan hanya tentang perkuliahan tetapi juga segala hal yang terkadang sulit ia pecahkan. Tasbih mengajak Amir bertemu di salah satu restoran tempat mereka biasa makan siang. Sekalian tasyakkuran dengan mentraktir orang yang berjasa dalam studinya, pikir Tasbih.
            “Selamat Akh, semoga ilmunya barokah dan bermanfaat,” ucap Amir saat bertemu Tasbih yang sudah menunggunya di salah satu sudut restoran tersebut.
            “Amiin, semua ini juga berkat doa dan bantuan antum, jazakallah!” balas Tasbih merendah sambil mempersilahkan rekannya duduk.
            “Ah, antum terlalu membesar-besarkan. Ngomong-ngomong apa rencana antum selanjutnya, melanjutkan Doktoral atau… hmm pulang kampung dan menikah?” goda Amir sambil tersenyum penuh selidik.
            “Kalau pendapat antum bagaimana?” Tasbih balik tanya.
            “Pendapat ana sih, sebaiknya menikah dulu, setelah itu kalau mau melanjutkan studi, ya silahkan! Kalau kita sudah merasa sanggup untuk menikah, tidak baik ditunda-tunda, selain untuk menghindarkan hawa nafsu dari perbuatan yang dilarang agama bukankah menikah juga menyempurnakan separuh agama? Sudah ada calon belum? Atau masih belum bisa melupakan  sang gadis impian di masa lalu, siapa namanya?”
            “Hanifa.”
            “Gimana kabarnya sekarang? Maaf kalau pertanyaan ini membuat antum tak nyaman!”
            “Ah, nggak juga, kabar terakhir ana terima tahun lalu, katanya dia sudah menjadi Dokter di sebuah rumah sakit besar di sana dan sudah dikhitbah seseorang, setelah itu nggak tahu lagi kabarnya.” Jawab Tasbih sambil mempersilahkan Amir menikmati hidangan yang sudah tersedia. “Sebenarnya ana juga berpikiran seperti antum, tapi masalahnya adalah belum ada gadis yang mau disunting!”
            “Yang benar akh? Di Malaysia ini ada ribuan gadis baik dan solehah yang sulit menolak dilamar pria sholeh setampan dan secerdas antum!”
            “Yah, begitulah. Sebenarnya beberapa waktu lalu ana sudah ta’aruf dengan seorang akhwat melalui rekan ana juga. Alhamdulillah kitapun sama-sama cocok. Tapi setelah dikomunikasikan dengan orang tua si gadis, ternyata mereka menolak disebabkan ana orang Indon, katanya selain jarak yang jauh orang Indon di pandang mereka under estimate gitu, akhirnya gagal juga,” jelas Tasbih dengan raut kesal.
            “Dasar orang Malay, karya budaya Indonesia saja yang mau dirampoknya!” balas Amir geram. “Memang sebagian orang, bukan hanya di sini saja, di negeri kita juga banyak orang tua yang berpendidikan tinggi tapi masih menerapkan kriteria yang kurang tepat dalam memilih calon menantu, misalnya karena alasan suku, kekayaan, latar belakang keluarga dan berbagai alasan lain yang tidak syar’i. Padahal dalam Islam kriteria  prioritas dalam mencari pasangan adalah karena agama dan ketaqwaannya.” Sejenak Amir berhenti sambil menghabiskan minuman digelasnya.
“Bukankah rezeki sudah di atur oleh Allah, tidak sedikit anak penjahat menjadi kyai dan yang jelas tidak ada orang yang dapat memilih untuk dilahirkan dari suku tertentu, apalagi tak ada dalilnya bahwa suku tertentu lebih baik dari yang lainnya, bahkan dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa perbedaan suku dan bangsa sengaja Allah ciptakan agar saling kenal mengenal. Tapi jangan bersedih akh! Yakinlah bahwa kegagalan demi kegagalan yang antum rasakan itu merupakan proses yang Allah rencanakan untuk mendapatkan sosok isteri yang terbaik dunia akhirat.” Sambungnya.
            “Amiin, semoga akh, oh ya insya Allah ana akan pulang kampung minggu depan, tak sabar rasanya bertemu keluarga.”
            “O ya? Alhamdulillah, ana yakin di sana orang-orang juga sudah tak sabar menunggu Bapak Rizky Tasbihullisan, ST. M.Eng dengan luapan ilmu-ilmunya he..he..” goda Amir hingga wajah Tasbih  memerah tersipu. “Eit, hampir lupa akh, gimana kalo antum ana kenalkan dengan teman istri ana. Insya Allah orangnya sholehah, agamanya baik, berpendidikan dan tentu saja cantik. Kalau tidak salah dia lulus S1nya juga tahun ini sama dengan antum.”
            “Boleh juga jika antum yang menjamin, Insya Allah ana bersedia. Kapan kira-kira bisa ta’aruf?” jawab Tasbih tak sabar.
            “The sooner the better, saat antum tiba nanti, secepat mungkin ana akan menghubungi si gadis untuk bersiap datang ke rumah ana, dia dan antum kan sama-sama tau rumah ana, jadi transportasinya biar lebih mudah, gimana?”
            “Insya Allah ana siap, semoga ini memang pilihan terbaik bagi Allah untuk ana.”
            “Amiin yaa Mujiibassaailiin…”
*  *  *
            Pesawat yang membawa Tasbih take off di KL International Airport pukul 10.30, diperkirakan jika tidak ada delay akan landing di Bandara Supadio Pontianak pada sore hari setelah transit di Bandara Internasional Soekarno-Hatta Cengkareng Jakarta. Selama dalam perjalanan Tasbih tak bisa memejamkam mata meski sesaat. Pikirannya selalu membayangkan wajah Lana, lengkapnya Lana Amrina Rosyada, gadis cantik berjilbab yang gambarnya didapat melalui facebook tiga hari yang lalu, lengkap dengan biodatanya. Tak sabar rasanya bertemu langsung dengan gadis tersebut.
            “Astaghfirullah, Ya Allah lindungi hamba dari nafsu setan yang menggoda hati hamba dari mencintai seseorang karena selain-Mu,” desah Tasbih setelah menyadari nafsunya yang mulai bergerak liar.       
            Tiga hari kemudian, setelah merasa lepas dari rasa lelah perjalanan dan rasa kangen berkumpul dengan keluarganya. Tasbih berpamitan kepada orang tuanya untuk bertemu dengan bakal calon isterinya. Tentunya setelah diceritakannya tentang sosok gadis tersebut sejauh pengetahuannya sementara ini. Tanpa kesulitan yang berarti dan waktu yang lama, Toyota Yaris hitamnya segera membawaTasbih menemukan rumah Amir. Hampir sebagian besar seluk beluk jalan di kotanya ia hafal, hasil dari hobinya jalan-jalan di masa lalu.
Di halaman rumah yang luas itu ia melihat dua mobil terparkir rapi. Setelah salamnya dijawab dari dalam, ia segera masuk. Di ruang tamu tersebut rupanya sudah ada empat orang, dua laki-laki dan dua orang perempuan berjilbab. Setelah berjabatan tangan lalu seorang pria yang mengaku adik dari isteri sahabatnya memperkenalkan orang-orang yang ada di tempat tersebut.
“Subhanallah,” desisnya pelan. Ternyata gadis yang akan dijodohkan dengannya lebih cantik dari yang dia lihat di foto. Dia lalu teringat bahwa wajah itu mirip dengan pemeran Ayatul Husna dalam film Ketika Cinta Bertasbih.
“Saya Rizky Tasbihullisan, teman akhi Amir,” balasnya basa-basi, karena yang lain tentu sudah tau siapa dia. Tasbih tak bisa menyembunyikan sikap groginya. Kondisi seperti saat ini mengingatkannya pada peristiwa yang sama kala ia melamar Hanifa tiga tahun yang lalu.
Setelah berbasa-basi sebentar, perbincangan mulai masuk ke ranah yang lebih serius, yaitu kesan atau jawaban dari kedua pihak. Dan hasilnya adalah dua-duanya tidak ada masalah alias OK. Tapi tidak selesai sampai disitu saja, pihak si gadis masih mengajukan syarat kepada Tasbih.
“Kalau saudara memang serius, kami minta agar antum datang bersilaturrahim ke keluarga besar kami, saat itulah baru bisa dihasilkan keputusan finalnya,” kata laki-laki yang merupakan abang dari Lana.
“Ana tidak keberatan, insya Allah dalam waktu dekat ana bersama orang tua akan bersilaturrahmi ke keluarga besar antum,” balas Tasbih penuh semangat.
 Sepanjang perjalanan pulang, lisan Tasbih basah dengan lafadz tahmid sambil sesekali mendendang lagu nasyid “Mencari Pasangan”. Kebahagiaannya saat itu tak telukiskan dengan kata-kata. Sehingga tidak ada lagi yang terpikir olehnya kecuali segera pulang dan menceritakan hasil pertemuan itu kepada orang tua dan keluarga besarnya. Ia berharap hasil pertemuan dua keluarga besar nanti akan sama dengan pertemuannya kali ini, bahkan kalau bisa sekaligus menentukan tanggal pernikahan. Namun, sebelum mobilnya tiba di rumah, tiba-tiba telepon selularnya berbunyi. Ternyata berasal dari nomor Lana. Antara percaya dan tidak ia menjawab panggilan itu dengan hati berdebar bahagia.
“Akhi Tasbih, ana abangnya Lana, kami sekarang dirumah sakit akibat kecelakaan sepulang dari pertemuan tadi!”
“Masya Allah, gimana kabar antum berdua?” Tanya Tasbih setengah tak percaya.
“Ana hanya cidera ringan tapi Lana sedang kritis di ruang IGD!”
“Baik, ana akan segera ke sana!” balas Tasbih seraya menutup telepon selularnya. Dengan cepat ia memutar mobilnya ke arah rumah sakit yang dimaksud abang Lana tadi. Tak begitu lama ia tiba di rumah sakit dan langsung ke IGD. Tasbih segera disambut pelukan Abang Lana.
“Inna lillahi wainna ilaihi rajiuun… Lana sudah pergi untuk selama-lamanya,” kata Abang Lana dengan terbata disertai genangan air mata. Sesaat Tasbih tak percaya.
“Tak mungkin, coba diperiksa lagi, mungkin hanya koma!” desaknya.
“Sudahlah akh, dokter sudah memeriksanya, sabar dan tawakallah, karena kita ini milik Allah dan akan kembali kepada Allah,”
Setelah beberapa saat berlalu, seluruh keluarga besar Lana dan Tasbih yang juga ada di tempat itu segera membawa jenazah Lana pulang. Separuh nafas Tasbih terasa terbang bersamaan dengan berlalunya jasad yang telah menjadi bakal calon isterinya beberapa jam lalu itu meninggalkan rumah sakit. Badannya yang lunglai hampir saja terjatuh saat tiba-tiba dia melihat sosok perempuan berpakaian serba putih yang diyakininya salah satu dokter di rumah sakit tersebut. Semakin dekat perempuan itu berjalan ke arahnya ia semakin yakin kalau ia mengenal perempuan itu.
“Hanifa?!” Tanya Tasbih meyakinkan.
“Benar, kalau tidak salah, anda adalah Tasbih?! Sama penasarannya.
“Anda bertugas di sini?”
“Ya benar, sejak setahun lalu, bukannya anda sedang menempuh pascasarjana di luar negeri, kok ada disini, siapa yang sakit?”
“Ya, baru tiga hari lalu tiba di kota ini, tapi baru beberapa jam lalu berta’aruf dengan seorang gadis, ternyata barusan dia sudah di panggil Allah dalam sebuah kecelakaan,” jelas Tasbih dengan nada sedih.
“Inna lillah… saya turut berduka cita atas musibah yang menimpa anda.”
“Jazakallah, sampaikan salam ana buat suami anda,” pesan tasbih saat mereka hendak berpisah.
“Apa? Maaf, tapi saya belum berumah tangga, calon suami saya juga meninggal akibat kecelakaan setengah tahun yang lalu,” jawab Hanifa lirih.
“Maaf ana tidak bermaksud mengungkit luka hati anda, ana juga turut berduka cita,” sesal Tasbih.
*  *  *
Waktu terus berlalu. Meski sudah berusaha menghapus kenangan pahitnya di tinggal Lana, tapi butuh waktu tiga bulan baru mulai terasa ringan hatinya kala mengenang peristiwa tersebut. Terutama saat ia mulai disibukkkan dengan pekerjaan barunya sebagai Dosen di kampus tempat ia kuliah dulu sejak sebulan yang lalu.
Pada suatu sore, saat Tasbih berjalan di koridor kampus, tanpa sengaja ia berpapasan lagi dengan Hanifa.
“Lho, kok ada disini?” Tanya Tasbih kaget karena tak menyangka akan bertemu lagi dengan mantan gadis pujaannya itu. Meskipun kalau mau jujur dihatinya yang paling dalam sebenarnya ia masih mengagumi gadis tersebut hingga saat ini.
“Saya baru dari ngisi kuliah di fakultas kedokteran, anda?” Hanifa balik tanya.
“Alhamdulillah, Ana sejak sebulan lalu diterima sebagai dosen di fakultas tehnik. Oh ya, maaf sebelumnya, bagaimana kabar dua teman anda yang dulu?”
“Maksud anda Arini dan Evita? Mereka telah menikah setelah lulus kuliah, setelah itu kami jarang berkomunikasi.”
 “Ooo, sebentar-sebentar,” tahan Tasbih saat Hanifa akan segera pergi. “Begini, maukah anda menikah dengan ana?” serang Tasbih sedikit ragu, berbeda dengan yang pernah dilakukannya dulu.
“Anda serius?” balas Hanifa kaget. Ia tidak menyangka Tasbih akan mengulangi kenekatannya tiga tahun yang lalu.
“Yah, tentu saja ana serius,”
“Maaf, saat ini saya tidak bisa menerima lamaran anda!” tegas Hanifa.
“Hah, mengapa?” Tasbih penasaran.
“Kecuali nanti saat anda melamar langsung ke orang tua saya!” balas Hanifa seraya berlalu dengan senyum tipis mengambang di bibirnya dan hati yang berbunga-bunga meninggalkan Tasbih yang masih shock tak percaya.
“Alhamdulillah,” seru Tasbih tak lama kemudian lalu bersujud syukur di tempat itu juga. “Inikah proses yang Engkau pilihkan untuk hamba dalam mendapatkan gadis terbaik yang Engkau kehendaki Ya Allah?”
Sepanjang perjalanan pulang, terbayang kisah perjalanan hidupnya selama beberapa tahun terakhir, khususnya dalam usahanya mendapatkan calon isteri. Dia lalu teringat kata-kata bijak Paulo Coelho dalam masterpiece-nya The Alchemist, bahwa setiap pencarian dimulai dengan keberuntungan bagi si pemula, dan setiap pencarian diakhiri dengan ujian berat bagi si pemenang!

Siantan Hilir, 03 Oktober 2009 pkl. 00.00

(Cerpen ini pernah di muat di harian Pontianak Post edisi 11 Oktober 2009)

Rabu, 29 Juni 2011

Refleksi Kontekstual Isra' Mi'raj*


IMAN, ILMU DAN KESADARAN

Oleh : Mohammad Amin

Alkisah, sekembalinya dari isra’ mi’raj, Nabi Muhammad SAW menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada masyarakat. Mendengar berita ‘aneh’  tersebut, sebagian dari mereka yang sebelumnya telah telah membenarkan kenabiannya ada yang berbalik murtad, bahkan tak jarang yang mengacau dan membangkitkan fitnah besar.
Sebagian tokoh musyrik tersebut kemudian mengadu kepada Abu Bakar ra.
“Hai Abu Bakar, kawan akrabmu telah menyatakan diri berjalan di malam hari ke bait al-maqdis (Masjid Al-Aqsha, Palestina), lalu ke langit dan kembali lagi menjelang subuh. Bagaimana menurutmu?”
Abu Bakar pun menjawab dengan tenang dan mantap.
“Kalau hal itu dinyatakan olehnya, sungguh aku telah membenarkannya sepenuh hatiku, bahkan yang lebih hebat dari itu!”
Konon, karena peristiwa tersebut, sahabat nabi yang paling sepuh ini digelari al-Shiddiq (yang membenarkan).
Tak puas, tokoh musyrik Quraisy tersebut kembali dan bertanya kepada Nabi.
“Coba terangkan tentang kafilah kami yang telah berangkat ke Syiria. Apakah engkau menemui sesuatu dari mereka? Bagaimana keadaannya dan kapan mereka sampai ke Mekkah?”
Nabi menjawab, “Aku melewati onta-onta milik suku anu di Tan’im (berlokasi tidak jauh dari Mekkah), berjumlah sekian orang, bawaannya sekian, dan keadaannya demikian. Coba tanyakan kalau mereka pulang nanti.”
  Kemudian mereka pun keluar di akhir malam, menunggu kafilah mereka untuk membuktikan keterangan Nabi tersebut. Setelah kafilah datang ternyata semua semua yang dikatakan Nabi Muhammad SAW benar adanya. Akan tetapi akibat sifat keras kepala mereka, sehingga meskipun sudah terbukti kebenarannya, mereka tetap bersikeras tidak mau beriman bahkan menganggapnya sebagai ilmu sihir. (Al-Khaubawi: 1987)
Sekelumit kisah di atas adalah sebagian kecil dari berbagai peristiwa yang berhubungan dengan perjalanan fenomenal Nabi Muhammad SAW dalam Isra’ Mi’raj.
Jika dicermati lebih dalam, ada dua mainstream yang paradox dari kisah tersebut. Antara lain, Abu Bakar ra. yang dikenal sebagai salah satu generasi pertama sahabat nabi yang memeluk Islam (al-Sabiqun al-Awwalun) dengan keimanan yang tertancap kuat dalam jiwanya, tidak sulit untuk meyakini peristiwa isra’ mi’raj Nabi tersebut. Karena iman yang sejati tidak bertumpu pada kekuatan ilmu (pengetahuan) an sich, akan tetapi bersumber dari keyakinan terdalam yang dimanifestasikan dalam perkataan dan perbuatan nyata.
Nah, keimanan yang demikianlah yang dapat membawa pemiliknya mencapai prestasi puncak dambaan setiap muslim, yaitu maqam taqwa, yang di antara cirinya adalah meyakini hal-hal ghaib atau yang berada diluar jangkauan nalar manusia atau supra-rasional (QS. 2: 3)
Sementara itu, musyrikin quraisy –dengan latar belakang keingkaran atau kekafiran akan risalah kenabian Muhammad, saat mendengar berita ‘ganjil’ yang disampaikan nabi, alih-alih beriman, mereka bahkan menuduh semua itu sebagai sihir yang dilakukan Muhammad untuk memperdayai mereka. Karena orang yang kafir, diberi peringatan atau tidak, sama saja. Mereka tetap tidak akan percaya (QS. 2: 6).
Padahal sebagian keterangan Nabi tersebut sudah mereka buktikan sendiri kebenarannya. Hal ini menunjukkan bahwa, ilmu (bukti pengetahuan) yang mereka miliki tidak otomatis menggiring mereka pada sebuah ‘kesadaran’  (hidayah), sebaliknya justru semakin membutakan hati mereka.
Nabi sendiri pernah bersabda, bahwa barang siapa yang bertambah ilmunya, tetapi tidak berdampak pada bertambahnya hidayah atau kesadaran aplikatifnya, maka dia tidak akan semakin dekat dengan Sang Pencipta bahkan akan semakin jauh.
Jika ditarik pada konteks Indonesia kekinian, kita mulai dengan pertanyaan, kenapa berbagai kejahatan dalam segala bentuknya begitu marak terjadi?
Sebagian orang menilai, tingkat pendidikan rakyat Indonesia masih terbilang rendah. Tentu penilaian ini tidak salah, meski tidak sepenuhnya benar. Buktinya berbagai kejahatan besar seperti korupsi, pembunuhan, bahkan pelecehan seksual sebagian dilakukan –paling tidak melibatkan- para pejabat yang tidak bisa dikatakan berpendidikan rendah, bahkan menurut salah satu media terkemuka edisi tahun lalu (2004) departemen terkorup adalah departemen agama!
Ironis memang, tapi itulah gambaran moralitas bangsa Indonesia. Ribuan sarjana yang dilahirkan dari ratusan perguruan tinggi tiap tahunnya, tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan etika warga bangsa secara umum. Kondisi ini menunjukkan, ternyata ‘orang pintar’ tidak serta merta menjadikan dirinya sebagai ‘orang benar’. Ilmu saja tidak cukup menggiring pada ‘kesadaran’ bersikap dan bertingkah laku sesuai ajaran Tuhan, tanpa keimanan sejati yang terpancar dari jiwa setiap muslim (QS. 8:3-4).
Semoga momentum peringatan isra’ mi’raj setiap tanggal 27 Rajab ini tidak dilewatkan sebatas seremonial belaka, atau hanya sebagai pelengkap rutinitas PHBI, tapi lebih dari itu adalah dengan menarik berbagai ‘ibrah yang terkandung di dalamnya sebagai landasan pijak dalam bersikap dan bertingkah laku yang lebih baik.
Last but not least, meraih ‘kesadaran’ atau hidayah tidak cukup hanya dengan dengan menunggu anugerah, tapi harus dijemput dengan riadhoh dalam bentuk membiasakan diri dengan amal ibadah dan menjauhi aneka maksiat serta memperbanyak do’a kepada Allah SWT.
Ihdinash shiraathal mustaqiem...
Shiraathal ladziina an’amta alaihim...
Ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladh dhaalliin...
Amiiin..
  
*Artikel ini pernah dimuat di Harian Pontianak Post edisi 1 September 2005

ARJUNA MENCARI JODOH



Terik matahari siang itu terasa membakar kulitku. Udara kering ditambah hawa yang begitu gerah membuat kepala menjadi agak pusing. Meski sudah sekitar satu jam perjalanan dari desa Gading kutempuh bersama abangku, tapi masih butuh separuh waktu lagi untuk sampai dirumahku. Perjalanan pulang ini terasa begitu lama, padahal tadi pagi ketika berangkat terasa ringan dan cepat. Apa karena keberangkatanku didukung oleh energi senang, harapan sekaligus penasaran yang sebulan belakangan ini menghantui hari-hariku? Sementara pulangnya terasa begitu berat karena ternyata harapan yang terlalu tinggi itu tiba-tiba meluncur bebas dan meredup tanpa dapat kuhentikan? Ah, entahlah, yang kutahu aku hanya ingin cepat sampai kerumah segera. Bayangan segelas Segar Sari rasa lemon kesukaanku mulai melayang-layang di depan mataku. Ku tarik gas sepeda motor Mio merah kesayanganku yang pagi tadi sempat tersangkut di lumpur setinggi lutut. Kendaraan yang kemarin sudah dicuci mengkilat itu kini tak jelas lagi bentuknya tertutupi oleh lumpur yang mulai kering.
“Gimana Fan?” Tanya abangku ketika sudah sampai di rumah.
“Gimana apanya?” tanyaku sok lugu dengan nada sedikit malas sambil menghirup segar sari di tanganku.
“Gimana dengan cewek tadi? Cocok?” tanya abangku semakin penasaran.
“Nggak tahulah, bingung menjawabnya!” jawabku sekenanya.
Aku memang agak bad mood  sepulang dari desa Gading, tepatnya setelah melihat gadis yang rencananya akan di jodohkan denganku. Tentu saja bukan karena dia kurang cantik atau yang lainnya, karena aku saja hanya melihatnya tak lebih dari lima detik, itupun tanpa sengaja ketika aku hendak berwudhu’ untuk shalat dzuhur di masjid yang terletak di depan rumahnya, dan sepertinya lumayan cantik. Tapi ini masalah selera Bung! Memang pandangan pertama bukanlah jaminan akan keadaan selanjutnya, tapi bagiku pandangan pertama ini begitu penting mengingat jarak antara rumah ku dan rumahnya sangat jauh sehingga untuk melihat wajahnya sekali lagi saja butuh waktu dan kesempatan yang tidak mudah. Selain itu aku juga tidak begitu mengenal sosok dan kepribadiannya. Bagaimana aku tiba-tiba langsung mencintainya? Atau paling tidak menyukainya? Tapi masalahnya ternyata tidak sesederhana itu kawan! Ini bukan hanya persoalan like and dislike, tapi menyangkut harga diri seseorang. Apalagi orang tuaku sudah menyatakan 100% persetujuannya meskipun tetap menyerahkan keputusan akhirnya padaku.
“Kurang apa lagi?” kata ayahku suatu ketika.
“Dia baru pulang dari pesantren meskipun cuma lulus Aliyah, orang tuanya tokoh agama bahkan Ustadz kamu waktu di madrasah dulu, jadi bibit, bebet  dan bobot  nya tidak diragukan lagi, apalagi orang tuanya sendiri yang datang kesini mau menjodohkannya dengan kamu!” pendapat ayahku yakin.
Aku semakin terperosok dalam dilema. Seperti makan buah simalakama, jika kutolak, bagaimana perasaan orang tuanya yang notabene guruku yang sangat kuhormati, tapi jika kuterima, haruskah aku menjalani sesuatu untuk seumur hidupku tanpa rasa cinta atau lebih tepatnya karena terpaksa? Tidak! Aku tidak boleh gegabah untuk urusan yang satu ini. Akhirnya keluargaku pun tak bisa berbuat apa-apa kecuali menghargai perasaanku.

*  *  *
                Setelah peristiwa itu aku kembali menjalani hari-hariku seperti biasa. Waktuku kusibukkan dengan rutinitas yang sudah lebih setahun ini kujalani. Pagi-pagi buka toko Foto copy dan Rental computer yang baru kurintis beberapa bulan lalu. Setelah karyawanku datang kusempatkan pergi ke Taman Kanak-Kanak (TK) yang kudirikan bersama temanku. Meskipun aku hanya ketua Yayasan, tapi aku berusaha untuk selalu mengunjungi sekolah itu. Ada kebahagiaan tersendiri ketika aku datang lalu anak-anak itu berteriak memanggil namaku sambil berlari kearahku. Lalu ada yang memeluk kakiku, ada yang minta gendong, bahkan ada yang ngajak main ayunan.
Kulihat betapa cerianya anak-anak itu. Tanpa beban, tanpa pertimbangan bahkan terkadang tak berfikir resiko, yang ada hanya kesenangan dan keceriaan untuk saat ini, tak peduli esok atau lusa. Berbeda dengan orang dewasa yang hidupnya dipenuhi dengan perhitungan, sehingga melahirkan kekhawatiran bahkan ketakutan. Impian besar untuk kehidupan masa depan yang belum pasti dijalani, terkadang harus mengorbankan kebahagiaan masa kini. Aku jadi teringat tulisan Dr. ‘Aidh Al-Qarni dalam bukunya yang fenomenal La Tahzan, “Wahai masa depan, engkau masih dalam kegaiban. Maka aku tidak akan pernah bermain dengan khayalan dan menjual diri hanya untuk sebuah dugaan. Aku pun tak akan memburu sesuatu yang belum tentu ada, karena esok hari mungkin tak ada sesuatu. Esok hari adalah sesuatu yang belum diciptakan dan tidak ada satupun darinya yang bisa disebutkan”.
Ah, aku jadi rindu masa kanak-kanakku di kampung. Meskipun tak pernah mengenyam sekolah TK, tak ada ayunan, pelosotan, dan Alat Peraga Edukatif (APE), tapi aku bahagia bermain di sawah dan di hutan dengan mainan seadanya yang berasal dari alam.
“Kok melamun pak?” sapa seseorang tiba-tiba membuyarkan lamunanku saat menemani anak-anak bermain. Suara itu rupanya berasal dari orang tua yang menunggu anak-anak mereka belajar.
“Ayoo… mikirin siapa nih, kalo udah ada calon kenalkan dong sama kita,” sambung yang lain menggoda.
“Mmm… anu, eh… nggak, lagi lihat anak-anak bermain,” jawabku mengelak.
“Alaaah… ngaku aja, pasti lagi kangen ya, kapan gantung janur nih? jangan lupa undangannya ya..” desak yang lain.
Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Meskipun pertanyaan seperti itu tidak hanya sekali ini ditujukan kepadaku, bahkan berkali-kali dari teman-teman di kantor, tetangga bahkan dari pelanggan toko, tapi tetap saja hatiku berdebar setiap kali membayangkan siapa yang akan menjadi pendamping hidupku nanti. Beberapa kali menjalin hubungan serius dengan perempuan selalu gagal. Karena seringnya gagal, aku sampai berfikir mungkin jodohku bukan dari pencarianku sendiri tapi dari perjodohan orang lain. Tapi celakanya, beberapa kali dijodohkan justru tidak pernah cocok sejak pandangan pertama. Sebelum kegagalan perjodohan dengan anak guruku itu, aku juga pernah dikenalkan oleh temanku pada teman kuliahnya. Menurut temanku, meskipun masih kuliah, perempuan itu berprofesi sebagai guru PNS di sebuah Sekolah Dasar Negeri. Tidak sedikit laki-laki yang bermaksud menikahinya, bahkan sudah melamarnya secara langsung, tapi perempuan itu menolaknya dengan halus. Mendengar cerita temanku, rasa penasaran menjalar juga di benakku. “Tak ada salahnya mencoba,” pikirku. “Siapa tahu jodoh!” kata hatiku mantap.
Bisa ditebak apa yang terjadi kemudian. Tukaran nomor telepon. SMS-an dan akhirnya janji ketemuan. Sengaja kupilih tempat yang tidak jauh dari kampus tempatnya kuliah. Biar mudah terjangkau olehnya, apalagi dari nada SMS-nya, sepertinya dia masih ragu bertemu denganku. Tapi aku sengaja memaksa untuk bertemu, dengan alasan tak ada salahnya menambah teman, kalau cocok berarti lanjut, kalau tidak berarti berteman, beres kan! Meskipun begitu tetap saja hati deg degan, H2C so pasti! Singkat kata singkat cerita akhirnya kami bertemu. Tapi sekali lagi, dari pertemuan singkat dan hanya diselingi sedikit basa-basi itu, aku harus jujur bahwa aku tidak naksir padanya! Dan menurutku tak perlu alasan kenapa, karena kalaupun ada, tapi aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya.

*  *  *
Tak terasa bulan Puasa telah memasuki hari kesepuluh. Bulan yang diyakini umat muslim menyimpan banyak keberkahan dan ampunan bagi yang bertaubat. Bahkan menurut yang pernah saya dengar dari ustadz di masjid waktu kuliah subuh, merasa gembira saja karena datangnya bulan Ramadhan ini, maka orang itu akan dibebaskan dari api neraka! Luar biasa garansi yang Allah berikan kepada umat-Nya. Tapi tentu saja kembali kepada keikhlasan niat pelakunya. Karena motif kesenangan itu bermacam-macam. Seperti tetanggaku si Ujang. Dia sangat senang memasuki bulan puasa karena di bulan itu dia mudah mendapatkan menu makanan kesukaannya, kolak pisang! Ada juga yang senang karena di bulan puasa jam kantor berkurang. Bahkan ada yang senang karena dagangannya laku keras di bulan puasa, apalagi menjelang lebaran.
Aku sendiri memiliki sedikit beban yang selalu kupikirkan setiap bulan puasa tiba. Setiap kali memasuki bulan puasa aku merasa tidak ada yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu aku masih bujangan alias belum menikah!  Sejak tiga tahun terakhir ini aku selalu membayangkan menjalani puasa bersama seseorang yang mendampingi hari-hariku siang dan malam. Menyiapkan hidangan sahur sebelum subuh menjelang, dan buka bersama saat matahari terbenam. Tahun ini usiaku menapaki seperempat abad, usia yang beberapa tahun lalu aku targetkan sebagai batas akhir mengakhiri masa lajang. Tapi nyatanya, hingga menjalani puasa di usia ke 25 ini ternyata belum ada tanda-tanda yang mengarah ke harapanku itu. Padahal keinginan menyempurnakan separuh agama itu sudah begitu memuncak. Impian melaksanakan sunnah nabi itu selalu membayangi hari-hariku. Bukan sekedar memuaskan nafsu syahwat belaka, tapi ada kerinduan akan sebuah keluarga kecil bahagia tempat melabuhkan jiwa raga. Aku seringkali merasa, hidup membujang itu hampa, aku tidak merasakan I’m single and very happy.  Yaa Allah, dengan limpahan rahmatmu di bulan mulia ini, jika jodohku jauh, dekatkanlah, jika dekat, satukanlah kami dalam sunnah rasul-Mu…
Di suatu sore yang cerah, sambil ngabuburit  di depan tokoku, aku teringat kalau beberapa waktu lalu, Edo, tetangga di samping toko ku pernah menawarkan aku untuk dikenalkan dengan saudara sepupunya yang baru lulus kuliah dan sekarang menjadi dosen honor di salah satu PTS di kotaku, namanya Ismi. Kupikir tidak ada salahnya kalau aku menagih janji itu, bukankah menjalin silaturrahmi itu adalah perintah agama. Akhirnya tanpa menunggu lama tetanggaku pun setuju. Namun, aku tak ingin mengulangi pengalaman gagal sebelumnya. Sebelum membuat janji pertemuan aku tanya segala hal tentang Ismi, dan tak ketinggalan kuminta juga fotonya. Alhasil, keesokan harinya aku sudah bisa melihat foto Ismi meski hanya melalui HP Edo. Dan, sekali lagi aku harus jujur meski tentu saja tidak kusampaikan pada Edo, bahwa aku lagi-lagi “tidak tertarik” pada sepupunya itu. Tapi apa mau di kata, rupanya saat Edo mengambil foto itu, dia sudah kadung membuat janji untuk mempertemukan Ismi denganku dua hari kemudian sambil menikmati buka puasa di salah satu restoran cepat saji terkenal di kotaku. Tentu tak elok kalau aku harus membatalkan rencana yang sudah disepakati hanya karena satu alasan yang tergesa-gesa; tak tertarik!
Waktu yang disepakati sudah tiba. Meskipun setengah hati, aku akan bertemu dengannya sore ini. Saat berangkat, aku berboncengan dengan Edo, sementara istrinya menjemput Ismi di rumahnya. Jadi, aku lebih dulu tiba di restoran tersebut.
“Hmm… gimana nih rasanya menunggu sang calon?” goda Edo, ketika kami sudah duduk di salah satu meja di samping dinding kaca di restoran tersebut. Aku sengaja duduk membelakangi jalan masuk restoran dengan alasan tidak ingin langsung melihat gadis itu datang.
“Biasa aja,” jawabku sekenanya. Memang aku tidak begitu berminat melakukan pertemuan kali ini. Mungkin inilah perbedaan pertemuan kali ini dengan pertemuan-pertemuan perjodohan sebelumnya. Jika pertemuan sebelumnya aku datang dengan semangat ’45, sebagaimana Sri Rama merebut Dewi Shinta dari tawanan Rahwana dalam kisah Ramayana. Atau seperti  kisah Ario Panangsang mengejar Dewi Sekartaji dalam babad tanah Jawi. Tapi kali ini, aku tak ubahnya seorang anak kecil yang disuruh ibunya membeli bawang ke toko tapi tak ada uang transportnya. Dingin.
“Assalamualaikum”, sapa seseorang tiba-tiba dari arah belakang membuyarkan aku dari lamunan.
“Waalaikum salam”, jawabku refleks karena kaget sambil menoleh ke arah asal suara. “Subhanallah”, gumamku pelan. “Apa benar ini perempuan yang dimaksud Edo?”, tanyaku dalam hati. Meski hanya sebentar aku menatapnya dari arah samping, tapi kali ini aku juga tak bisa berbohong, bahwa hatiku seketika berdesir tak karuan. Bunga-bunga di hatiku yang sempat layu mulai bermekaran. Harapan yang sebelumnya redup kembali berpendar. Impian yang selama ini mengambang, mulai menampakkan jawaban.
Apabila cinta memanggilmu, ikutilah, meski jalannya terjal berliku.
Dan apabila sayapnya merangkulmu, pasrahlah, meski pedang tersembunyi di sela sayap itu mungkin melukaimu.
Dan jika dia bicara kepadamu, percayalah, meski ucapannya membuyarkan mimpimu, bagai angin utara menghancurkan taman.
Sebab, sebagaimana cinta memahkotaimu, begitu pula ia menyalibmu.
……………………..
Cinta tak memberikan apapun kecuali dirinya sendiri dan tak mengambil apapun kecuali dari dirinya sendiri, dan tak memiliki ataupun dimiliki, karena cinta telah cukup untuk cinta… 
(Kahlil Gibran dalam  Sang Nabi)

 Siantan Hilir, Mei 2009
(Based on the true story/By: Mohammad Amin/Dimuat di Harian Pontianak Post edisi 24 Mei 2009)

Jumat, 24 Juni 2011

TAUHID SEBAGAI SOLUSI


Oleh : Mohammad Amin*

Obsesi peradaban mutakhir dimanifestasikan dalam kemajuan teknologi di segala lini kehidupan yang muara akhirnya adalah mengejar keuntungan ekonomis sebesar-besarnya. Hal ini ditandai dengan suburnya budaya materialisme, konsumerisme dan hedonisme di dalam mental masyarakat.
Anehnya, sebagian masyarakat di belahan Negara yang dianggap paling modern saat ini justru muncul sebuah sikap tidak puas terhadap materi yang mereka miliki, kesadaran ini menggiring mereka pada suatu realitas diri yang terasing atau teralienasi (alienation) dalam gerakan mekanis aktifitas mereka. Dalam kungkungan keterasingan ini mereka tidak lagi menemukan dirinya karena mereka telah menjadi tawanan kerja. Karena itu, dalam suasana masyarakat industrial, liburan weekend (akhir pekan) menjadi sangat bermakna, sebab hanya pada saat itulah seseorang bebas mengekspresikan diri sepenuhnya karena tidak harus bekerja, maka kemudian terkenal sebuah ungkapan yang berbunyi ‘we life for the weekend’ (kita hidup untuk akhir pekan).
Meskipun perangkat teori alienasi sesungguhnya dipinjam dari teori marxisme, tapi problem alienasi yang dikembangkan dalam Islam sangat berbeda secara substantif, karena dalam Islam –sebagaimana pendapat Budi Munawar Rahman- masalah alienasi ini menyangkut masalah makna hidup, yaitu hubungan manusia dengan Sang Khalik, dan karena itu juga menjadi persoalan tauhid, yaitu ketika manusia jatuh dalam sikap syirik atau dikuasai oleh benda-benda atau sesuatu selain Allah SWT, maka dalam keadaan seperti itulah manusia tersebut sebetulnya telah mengalami alienasi.
Di zaman dahulu, orang mengalami alienasi atau syirik tersebut dalam kondisi masyarakat yang dilanda kebodohan sehingga dikenal dengan zaman jahiliyah, tetapi di era modern ini, orang bersikap syirik bukan karena bodoh, tapi lebih karena tidak sadar, atau lebih tepatnya tidak memiliki kesadaran ke-Tuhan-an (rabbaniyah). Menurut Nurcholis Madjid, kesadaran ketuhanan ini menghendaki penghayatan kepada wujud Ilahi sebagai Yang Serba Dekat atau Maha Hadir (omni present). Dari kesadaran inilah berpangkal, bersumber dan memancar seluruh sikap hidup yang benar, dan dengan kesadaran  ini pula manusia dibimbing kearah kebajikan yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sementara itu, salah satu ciri masyarakat modern yang paling menonjol menurut Komaruddin Hidayat, adalah sikapnya yang sangat agresif terhadap kemajuan (progress). Di dorong oleh berbagai prestasi yang dicapai oleh Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang berporos pada rasionalitas, masyarakat modern berusaha mematahkan mitos kesakralan alam raya.
Realitas alam raya yang oleh doktrin-doktrin agama selalu dikaitkan dengan selubung metafisika dan kebesaran Sang Pencipta, kini dipahami semata-mata sebagai benda otonom yang tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Alam rayapun laksana jam raksasa yang bekerja mengikuti gerak mesin yang telah diciptakan dan diatur sedemikian rupa oleh ‘tukang jam’ yang Maha Super (Tuhan), untuk selanjutnya Tuhan pensiun dan tak ada lagi urusan dengan kehidupan ini. Dengan berbagai prestasi IPTEK itu pula, manusia modern pun semakin merasa yakin untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Tuhan.
Kritik kepada ilmu pengetahuan dan teknologi modern dari sudut pandang Islam ialah karena IPTEK modern tersebut hanya absah secara metodologis tetapi miskin dari segi moral dan etika. Pandangan masyarakat modern yang bertumpu pada supremasi akal serta obsesi yang tinggi terhadap penguasaan ekonomi telah memarginalkan dimensi ‘Rabbaniyah’.
Karena itu, sumbangan terbesar Islam adalah adanya konsep tauhid, yang tidak saja mempersepsikan Tuhan sebagai realitas yang transenden, tapi juga imanen dalam diri manusia. ‘Tuhan lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya’ (QS.50:16). Dalam ayat lain “Dan bila para hamba-Ku bertanya kepada engkau (Muhammad) tentang aku, maka (jawablah) bahwa aku adalah Maha Dekat” (QS.2:186). Tauhid juga menegaskan bahwa Tuhan adalah asal usul dan juga tujuan akhir hidup manusia –termasuk peradaban dan ilmu pengetahuannya.
Dalam bahasa Komaruddin Hidayat, bila ridha Tuhan tidak lagi menjadi pusat orientasi manusia, kualitas kehidupan lalu menjadi rendah. Sebaliknya, dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhirnya, manusia akan terbebaskan dari derita kehampaan spiritual, karena Tuhan adalah Pesona Yang Maha Hadir dan Maha Mutlak. Eksistensi yang relative akan lenyap ke dalam eksistensi yang absolut.
 Kiranya, kisah syahdu Nabi Ibrahim dan anaknya Nabi Ismail (QS.37: 102) dalam menempatkan Tuhan sebagai satu-satunya sumber dan tujuan penghambaan sehingga melahirkan ketaatan murni yang tidak dapat digoyahkan oleh kepentingan apapun dapat menjadi teladan dan bahan renungan kita dalam menghadapi Idul Qurban 1431 H ini.
Last but not least, marilah kita simak sebuah petikan puisi Muhammad Iqbal yang berjudul Doa: “Bakarlah dengan api kami segala yang bukan Tuhan/ Apabila umat mencampakkan kunci tauhid/ mereka pecah berantakan/ … / ajarkan kami lagi makna Laa Ilaaha/ bisikkan ke telinga kami Illallaah…! 

*Guru MTsN Singkawang