Senin, 07 Juli 2014

Lawan atau Musuh Politik?


Oleh : Mohammad Amin

            Suhu panas konstelasi politik nasional (pilpres) diakui atau tidak telah merambah hingga ke akar rumput. Suasana tersebut sangat terasa dalam berbagai perbincangan di berbagai tempat dan kesempatan. Mulai dari seminar di hotel berbintang hingga obrolan santai warung kopi di tepi jalan. Mulai dari diskusi di auditorium kampus hingga debat kusir di lorong kakus. Hal ini tidak bisa dihindari terutama akibat mengerucutnya calon presiden dan wakilnya hanya pada dua kubu, yaitu pasangan Prabowo Subianto–Hatta Rajasa dan Joko Widodo–Jusuf Kalla. Massa pendukung pun terbelah dua. Dua kubu tersebut kemudian berhadap-hadapan secara diametral dimana kondisi ini pada akhirnya juga menggiring para pendukung keduanya ‘bertemu’ secara frontal.
            Parahnya lagi, ibarat menanam jamur di musim hujan, hal tersebut terjadi di tengah kondisi pemahaman dan prilaku politik (political behaviour) masyarakat Indonesia yang masih rendah terhadap substansi politik. Bahwa bagi sebagian politisi, hakikat politik adalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana, sehingga untuk itu tidak ada yang abadi dalam politik kecuali kepentingan. Sementara bagi masyarakat awam, pilihan politik telah menjadi bagian dari harga diri yang harus diperjuangkan dengan cara apapun. Akhirnya muncullah fanatisme politik yang bisa berakibat fatal dan bahkan kontraproduktif dengan orientasi demokrasi itu sendiri. Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi, ketika dua orang tukang becak yang terlibat adu jotos gara-gara perbedaan capres-cawapres yang menjadi jagoannya.
            Secara intrinsik, realitas di atas juga terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat atau bahkan praktisi politik di negeri ini akan perbedaan antara lawan politik (political opponent) dan musuh politik (political enemy). Akibat kekaburan dalam melihat dan membedakan dua hal ini akhirnya berpengaruh pada cara pandang dan sikap bahkan cara bertindak mereka.
            Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online, terlihat bahwa kata musuh memang memiliki kedekatan arti dengan lawan. Namun, keduanya juga memiliki pengertian khas masing-masing yang tidak dimiliki oleh yang lainnya. Kata musuh juga bisa berarti sebagai sesuatu yang mengancam (kesehatan, keselamatan); yang merusakkan. Sementara kata lawan memiliki arti khas pasangan; teman. Dalam penggunaan sehari-hari, kedua istilah ini juga tidak selalu cocok dalam paduannya dengan kata yang lain. Misalnya ‘lawan bicara’ tidak bisa kita ganti dengan ‘musuh bicara’ atau ‘berlawanan arah’ tidak bisa kita ganti dengan ‘bermusuhan arah’. Di sisi lain, setiap yang dianggap ‘musuh’ akan selalu pantas disebut juga ‘lawan’. Sehingga bisa disimpulkan, bahwa lawan tidaklah selalu musuh tapi musuh pastilah lawan.
            Dalam konteks politik, perbedaan partai, caleg, atau capres-cawapres sesungguhnya masih dalam kategori ‘lawan’. Karena dengan keberadaannya justru untuk memperteguh dan mempertegas eksistensi yang lainnya. Adanya lawan akan membuat seseorang atau kelompok akan berusaha meningkatkan daya juangnya sekaligus menjadi barometer untuk mengukur kekurangan dan kelebihannya. Seperti kata orang bijak, ‘lawan debat’ adalah ‘kawan berfikir’, atau kalau dalam olah raga tinju adalah sebagai sparring partner. Selain itu, meskipun berbeda platform, pada prinsipnya semua kontestan politik memiliki arah dan tujuan yang relatif sama, yaitu untuk mewujudkan idealisme bangsa dan negara Republik Indonesia sebagaimana terangkum dalam Pancasila dan UUD 1945. Tidak bisa dibayangkan kalau misalnya hanya ada satu partai saja, atau satu calon presiden saja. Tentu kontestasi akan berjalan sangat membosankan, tidak menarik dan bahkan tidak kompetitif.
            Dengan demikian, adanya lawan haruslah dilihat dari sudut pandang positif. Sehingga kalaupun harus bersaing dalam mencari dukungan tapi tetap dengan mengedepankan cara-cara yang etis dan konstruktif. Bahkan akan lebih bagus lagi jika cara-cara menarik dukungan tersebut dikemas dengan lebih kreatif sehingga membuat pesta demokrasi ini berjalan atraktif dan bisa lebih menarik minat pemilih sehingga dapat mengurangi angka golput yang masih cukup besar.
            Tapi apa yang terjadi dengan situasi politik mutakhir justru menunjukkan realitas sebaliknya. Karena ‘lawan politik’ ditafsirkan secara keliru sebagai ‘musuh politik’ yang dianggap membahayakan atau mengancam eksistensi, akhirnya cara-cara kotor dan destruktif masih menjadi primadona para pendukung capres-cawapres. Pembunuhan karakter (character assasination) dengan kampanye hitam (black campaign) masih sangat terasa di berbagai media. Informasi berbau SARA masih begitu mewarnai dalam banyak berita. Bahkan dalam jajak pendapat Tim Litbang “Kompas” yang direlease Senin (9/6) lalu menyebutkan bahwa hampir 50% responden menganggap bahwa serangan-serangan kepada pribadi para capres melalui kampanye hitam sudah berlebihan. Hal ini tentu sangat tidak produktif bagi peningkatan mental politik warga negara Indonesia yang konon sedang menuju ke ranah perpolitikan modern. 
            Sementara itu disisi lain ‘musuh politik’ yang semestinya menjadi musuh bersama (common enemy) justru terabaikan. Dalam kamus Wikipedia disebutkan bahwa kata ‘musuh’ adalah istilah untuk sesuatu yang dipandang sebagai yang akan merugikan atau menjadi sebuah ancaman bagi yang lain. Dengan pengertian ini, maka yang sesungguhnya akan merugikan dan menjadi ancaman serius bagi perpolitikan di negeri ini bahkan mungkin ancaman bagi keberlangsungan demokrasi sehingga harus dijadikan ‘musuh bersama’ justru saat ini sedang membayang-bayangi kita semua.
            Jika dilihat dari berbagai varian pengertian politik menurut para ahli, maka ada beberapa ancaman serius yang harus dijadikan sebagai ‘musuh politik’ bersama bagi kita semua khususnya para politisi baik saat sedang berjuang meraih kekuasaan maupun ketika sudah menduduki singgasana nanti.
            Pertama, jika politik diartikan sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles) maka saat ini kita semua masih dihadapkan pada permasalahan yang cukup serius dalam hal kesejahteraan warga, dimana angka kemiskinan di negeri diyakini masih cukup tinggi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) yang setiap tahunnya merilis tingkat kemiskinan Indonesia, pada akhir tahun 2013 lalu indeks kedalaman kemiskinan naik dari 1,75% (Maret 2013) menjadi 1,89%. Kemudian indeks keparahan kemiskinan naik dari 0,43% (Maret) menjadi 0,48%. BPS juga mencatat bahwa angka kemiskinan meningkat terbesar di pulau Jawa, kemudian Sumatera, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Papua serta Kalimantan. Jumlah penduduk miskin pada September 2013 sebesar 28,55 juta orang atau 11,47 persen, jika dibandingkan Maret 2013 maka jumlah tersebut mengalami peningkatan sebanyak 480 ribu orang.
            Kedua, jika politik dipahami  sebagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara maka saat ini masih sering kita jumpai berbagai praktek penyimpangan kekuasaan (abuse of power) yang terjadi baik di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Salah satu contoh adalah praktek korupsi yang masih menggurita hingga saat ini. Sebagaimana hasil survei Transparansi Internasional (TI), sebuah organisasi non profit yang memiliki perhatian khusus dan kerap melakukan survei soal korupsi, yang pada akhir tahun lalu  mengeluarkan daftar terbaru indeks persepsi korupsi tahun 2013. Hasilnya menunjukkan bahwa Indonesia berada di posisi ke-114 dengan indeks persepsi 32. Posisi ini sangat jauh bila dibandingkan dengan posisi Singapura, yang menjadi satu-satunya negara Asia bertengger di posisi ke-5 dengan indeks persepsi 86.
            Temuan Global Corruption Barometer 2013 (GCB 2013) menempatkan parlemen dan partai politik sebagai lembaga yang korup dalam persepsi dan pengalaman masyarakat. Parlemen menduduki peringkat kedua terkorup (setelah Kepolisian) dari 12 lembaga publik yang dinilai. Sementara partai politik berada pada peringkat ke-4 terkorup. (sumber: www.ti.or.id)
            Ketiga, jika politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat maka hal sangat terkait dengan proses penyelenggaraan pemilihan umum (PEMILU) baik pemilu legislatif maupun eksekutif. Sudah menjadi asumsi publik bahwa hingga saat ini pelaksanaan pemilu di negeri ini masih carut marut dengan berbagai praktek pelanggaran di dalamnya. Pada Pemilu Legislatif bulan April lalu misalnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat jumlah pelanggaran yang terjadi mencapai 3.507 kasus. Dari jumlah tersebut, 209 pelanggaran masuk kategori pidana, sedangkan 3.238 merupakan pelanggaran administratif. Selain itu, ditemukan juga pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara pemilu sebanyak 42 kasus.
            Berbagai kasus pelanggaran Pemilu (electoral fraud) yang terjadi antara lain, adanya berbagai praktik kecurangan seperti politik uang (money politik), penggelembungan suara, penggunaan fasilitas negara saat kampanye, kampanye di luar jadwal, pelanggaran kode etik dan pelanggaran administratif lainnya. Indonesia Indicator (I2) –sebuah lembaga riset berbasis piranti lunak Artificial Intelligence (AI) untuk menganalisis indikasi politik, ekonomi, sosial di Indonesia melalui pemberitaan (media mapping) mengungkapkan bahwa selama pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014 yang lalu pelanggaran yang terjadi didominasi oleh kasus politik uang, ini tentu realitas yang menyedihkan bagi masa depan demokrasi kita.
            Selain tiga hal di atas, sesungguhnya masih banyak ‘pekerjaan rumah’ politik (baca: aktor politik) yang harus diselesaikan demi mewujudkan cita-cita pendiri bangsa dan negara ini. Harapan kita, di tengah hiruk pikuk pesta demokrasi yang sedang berlangsung saat ini, jangan sampai kita salah kaprah dengan menguras tenaga bahkan melalui segala cara untuk menjatuhkan ‘lawan politik’ tapi malah lupa dengan ‘musuh politik’ yang seharusnya dibasmi bersama. Padahal idealnya, kita harus melawan musuh, tapi tidak boleh memusuhi lawan!