Sabtu, 21 Juli 2012

DALAM DEKAPAN JILBAB



“Gimana Ver, bisa kan tampil untuk show minggu depan?” Tanya Erwin dari seberang telepon.
Vera yang belum siap menjawab pertanyaan itu hanya terdiam. Pikirannya masih melayang ke suatu wilayah yang ia sendiri tak tahu dimana. Suatu kondisi yang selama ini bertolak belakang dari orientasi aktifitasnya tapi akhir-akhir ini begitu menghantuinya. Setiap pikiran itu datang hatinya merasa kosong, jiwanya terasa hampa.
“Halo, Ver! Kok diam?” desak Erwin. “It’s a big show honey, don’t make me disappointed”.
“Sorry Win, aku lagi badmood nih, tapi aku akan kasi jawaban secepatnya kalo udah siap.  Please, ngertiin aku saat ini, ok!” balas Vera seraya menutup panggilan Erwin di ponselnya.
Vera menghempaskan tubuhnya yang seksi ke tempat tidur di apartemennya yang lumayan mewah. Sambil menarik nafas dalam-dalam matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya kembali menerawang. Bayangan masa lalunya tiba-tiba menyeruak memenuhi rongga otaknya.
Tujuh tahun lalu ia hanyalah seorang gadis kampung ingusan yang memberanikan diri merantau ke kota akibat desakan ekonomi keluarga. Sejak ayahnya  meninggal dunia, ibunya yang sudah renta praktis menjadi tulang punggung keluarga menanggung biaya hidup dan pendidikan dirinya dan tiga orang adiknya. Sebagai anak tertua hatinya merasa terpanggil untuk membantu meringankan beban yang ditanggung ibunya. Akhirnya, berbekal ijazah SMA ia memutuskan untuk merantau ke ibukota  meski tak tahu mau bekerja apa. Ia merasa beruntung karena Tuhan menganugerahinya wajah yang cantik dan tubuh yang tinggi nan seksi. Sehingga tanpa memakan waktu yang terlalu lama, perkenalannya dengan Erwin, seorang desainer ternama mengantarnya menjadi seorang model kelas atas dengan bayaran mahal. Yah, gadis kampung lugu bernama Salma Maghfira itu kini telah ber’metamorfosis’ menjadi salah seorang top model ibukota yang lebih dikenal dengan nama Vera Melati.
Vera kembali menarik nafas dalam. Tiba-tiba terlintas wajah ibu dan adik-adiknya yang sedang bersiap-siap melaksanakan shalat tarawih di masjid kampungnya, sebagaimana yang tentunya ia juga lakukan dulu saat masih bersama mereka. Entah sudah berapa kali Ramadhan ia alpa. Puasa, shalat  dan ibadah lainnya hanya menjadi bagian dari masa lalunya. Masa yang kini mulai dirindukannya lagi.
“Fir, jangan lupa shalat ya…” terngiang selalu pesan ibunya setiap kali ia pamit hendak kembali ke kota saat pulang kampung.
“Iya bu, ibu tenang aja,” Jawabnya tanpa dosa.
Padahal, alih-alih melaksanakan shalat, hari-harinya hanya disibukkan dengan pekerjaan. Orientasinya hanya uang, uang dan uang. Tujuan hidup yang sebenarnya sudah kabur, tertutupi oleh sikap hedonis dan glamour.  Ia sudah merasa puas asal bisa memenuhi segala keinginannya, apalagi sudah bisa membangun rumah untuk ibu dan adiknya di kampung serta membiayai pendidikan mereka. Ia sudah benar-benar hanyut dalam arus kehidupan barunya.
Tapi akhir-akhir ini ada perasaan aneh menyelinap dalam dirinya. Momentum puasa kali ini telah mengetuk kesadaran akan spiritualitasnya yang hampa. Bayang-bayang dosanya menguap lalu melayang-layang di depan matanya. Tiba-tiba bayangan kematian menyergapnya dalam ketakutan tak terhingga. Bagaimana jika umurku berakhir saat aku bergelimang dosa? Aku ingin bertobat, tapi apakah Tuhan berkenan mengampuni pendosa sepertiku? Pikirannya mulai cemas, ragu dan bimbang.
Sebenarnya ia sadar, pekerjaanya sebagai model bagi sebagian masyarakat bukanlah hal yang tabu, tapi ia juga menyadari bahwa ia dibayar bukan hanya karena busana yang ia pakai, tapi juga karena kemolekan sebagian tubuhnya yang ia pertontonkan. Apalagi untuk melepaskan diri dari Erwin juga bukan perkara mudah. Baginya, Erwin bukan hanya sang desainer, tapi juga seorang manajer, bahkan lebih dari itu ia tak sanggup menolak jika pria itu ingin merasakan tubuhnya.
Ah, saat ini aku masih membutuhkan banyak uang, kalau aku berhenti dari pekerjaanku sekarang, lalu aku dapat uang dari mana? Bisik hatinya lirih. Padahal adiknya masih sekolah, bahkan sudah ada yang kuliah, dimana semua biayanya sebagian besar menjadi tanggung jawabnya. Sementara uang pensiunan almarhum ayahnya hanya cukup untuk makan, itupun pas-pasan.
Saat ia larut dalam dilema, tiba-tiba ponselnya berdering.
“Aslm. Gimana Ver, jadi nggak ikut ‘kuliah dhuha’ besok?” rupanya sms dari Ulfa, teman yang dikenalnya secara tak sengaja di bandara setahun lalu.
Vera baru ingat bahwa ia pernah basa basi ke Ulfa kalau ia ingin ikut ke pengajian yang rutin di ikuti temannya itu setiap hari minggu pagi selama bulan Ramadhan. Sebenarnya ia sama sekali tak serius dengan perkataannya saat itu, bahkan setengah menyindir temannya itu karena baru diketahuinya telah menjadi jilbaber sejak beberapa bulan yang lalu. Bahkan sebagai konsekwensi dari keputusannya itu, ia rela keluar dari pekerjaanya selama ini sebagai pramugari di salah satu maskapai ternama.
Vera sempat bingung, jangankan ikut pengajian, setelah sepuluh hari Ramadhan tahun ini berlalu, seharipun ia belum pernah berpuasa. Tapi nggak ada salahnya kali ini aku ikut, sekalian cari pikiran segar ditengah kegalauan jiwaku belakangan ini, pikirnya.
“Ok, besok tunggu aku di rumahmu, kita berangkat sama-sama,” balasnya segera.

* * *
Cahaya matahari pagi mulai menyengat. Embun di dedaunan pun mulai mengering. Di bulan puasa, terutama di hari libur akhir pekan seperti ini suasana masih terasa sangat sepi. Sebagian orang masih larut dalam tidur mereka sehabis shalat shubuh. Tapi Nadia Ulfa sudah sibuk berkemas di rumahnya yang asri. Sebenarnya di bulan puasa ini ia tidak sesibuk di luar bulan puasa, karena tidak perlu menyiapkan sarapan pagi untuk suami dan anak semata wayangnya,. Tapi pagi ini ia akan pergi ke pengajian rutin minggu pagi di Masjid yang berlokasi tidak terlalu jauh dari rumahnya.
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum Salam!” jawab Ulfa. “Oh.. Vera, apa kabar? Silahkan masuk!”
“Alhamdulillah baik, terima kasih.” Balas Vera seraya masuk kedalam rumah. “Pagi-pagi sudah sudah sibuk nih! Apa nggak takut capek, kan lagi puasa?”
“Puasa kan bukan alasan untuk bersikap lemah, apalagi dalam melakukan kebaikan. Semua pekerjaan yang baik kalau kita niatkan ibadah, insya Allah mendapat pahala. Termasuk mengurus rumah, suami dan anak.” Jelas Ulfa. “Kalau Vera gimana? Kapan ngurus suami dan anak?” lanjutnya setengah menyindir.
Vera yang tak menyangka mendapat pertanyaan seperti itu tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Bukan hanya karena jawaban Ulfa tentang aktifitas saat puasa tapi juga pertanyaan tentang rumah tangga. Jangankan suami dan anak, mengurus diri sendiri saja ia merasa belum beres. Ia jadi teringat kembali bahwa ibunya pernah menyinggungnya dengan mengatakan sudah tidak sabar ingin menimang cucu. Seketika Vera sadar, bahwa ia tak muda lagi, sebentar lagi usianya sudah kepala tiga. Teman-teman sekolahnya rata-rata sudah berkeluarga, bahkan ada yang sudah punya anak tiga. Sebenarnya terpikir juga olehnya ingin punya suami yang baik dan shaleh seperti Ulfa, tapi laki-laki shaleh mana yang mau sama perempuan seperti dirinya?
“Ah… kamu ada-ada saja. Oh ya apa aktifitas kamu sekarang?” Vera mengalihkan topik pembicaraan.
“Selain mengurus rumah tangga, aku berjualan jilbab dan busana muslimah lainnya, sementara kalau pagi aku mengajar di Taman Kanak-kanak.”
“Sampai saat ini aku masih nggak ngerti, kok bisa-bisanya kamu berhenti jadi pramugari hanya karena jilbab. Padahal hari gini susah lho cari pekerjaan dengan gaji besar apalagi bisa sekalian jalan-jalan. Apa sebanding dengan penghasilan yang kamu dapat sekarang?”
“Rezeki itu tidak bisa dinilai dari nominalnya saja, tapi keberkahannya dan rasa syukur kita. Banyak orang yang kita anggap melimpah harta ternyata dia masih merasa kekurangan, dan tidak sedikit yang kelihatannya sederhana tapi ia bahagia dan bersyukur.”
“Memang awalnya agak sulit bagiku untuk memilih antara pekerjaan dan jilbab, tapi sekarang aku bersyukur dengan keputusanku, apalagi aku jadi punya waktu cukup untuk keluargaku,” lanjut Ulfa.
 Vera sempat tertegun sejenak. Ia mulai merasakan kebenaran dalam kata –kata Ulfa. Harta dan kebahagiaan ternyata tidak selalu satu paket, bahkan terkadang saling menegasikan. Karena kebahagiaan sesungguhnya bersumber dari hati yang ikhlas akan setiap kondisi yang dialami dan keyakinan akan takdir Ilahi.
“Kok melamun? Kita berangkat aja yuk… nanti kita terlambat, sayang sekali kalau ketinggalan materi pengajian,” ajak Ulfa membuyarkan lamunan Vera.
“Oh ya..ya.. ayo!” sahut Vera gelagapan.

* * *
Suara orang tadarus Al-Quran masih terdengar sayup-sayup dari pengeras suara di masjid. Malam pun semakin beranjak larut. Meski sudah berusaha memejamkan matanya, Vera tetap tak bisa lelap. Otaknya masih terus memikirkan pengajian yang ia ikuti tadi pagi. Ia mengakui bahwa ustadz yang menyampaikan materi memang tampan dan kata-katanya mengalir bijaksana. Sempat terbayang dalam benaknya betapa bahagianya seandainya pria itu bisa menjadi imam bagi dirinya. Meskipun ia juga berpikir bahwa orang seperti dirinya mungkin tak pantas untuk itu, tapi setidaknya membayangkan saja Vera sudah senang.
Lebih dari itu sebenarnya materi yang disampaikan ustadz tersebutlah yang lebih mengusik perasaannya saat ini. Jiwanya sangat tersentuh dengan dalil-dalil tentang taubat yang didengarnya. Ia semakin yakin akan keputusan yang harus segera diambil dan menurutnya tidak ada alasan untuk menundanya lagi. Apalagi saat ini masih dalam momentum Ramadhan. Bulan yang penuh berkah, rahmah dan maghfirah Allah SWT.
Tiba-tiba Vera dikagetkan oleh suara panggilan di ponselnya, rupanya dari Erwin. Sejenak ia sempat ragu, tapi dengan ucapan bismillah akhirnya ia angkat juga.
“Hallo Vera sayang, sudah ada jawaban kan?”
“Insya Allah aku bisa, tapi dengan satu syarat!”
“Oh begitu ya, memang apa syaratnya?”
“Aku bersedia tampil hanya jika mengenakan jilbab!”
“Hah! Kamu serius? Apa aku tidak salah dengar?” Erwin tak percaya.
“Tidak, aku sangat serius, jika kamu tidak setuju, sebaiknya cari model lain saja,” tegas Vera. “Oh ya, kamu pikir aja dulu, maaf aku sudah ngantuk banget nih, assalamualaikum!” lanjutnya mengakhiri percakapan.
Vera sudah mantap dengan keputusannya kali ini. Tak terpikir lagi olehnya mengingkari ketetapan hatinya. Yang ia pikir justru bagaimana memulai ‘kehidupan’ barunya terutama dalam menjalani sisa bulan Ramadhan ini sebaik-baiknya. Ia ingin menebus apa yang telah diabaikannya selama ini dengan ibadah dan menimba ilmu sebanyak-sebanyaknya. Ia sadar bahwa imannya masih lemah dan ilmu agamanya masih dangkal. Karena itu ia harus banyak sharing dengan sahabat-sahabatnya dan ahli agama yang bersedia dengan ikhlas membantunya.
Dalam sunyi malam itu bibirnya sempat berbisik lirih.

“Ya Allah, dinginkan panasnya kalbu ini dengan salju keyakinan,
Padamkan bara jiwa ini dengan air keimanan, dan
Tuangkan dalam nafsu yang bergolak ini kedamaian…”

 (doa ini di adaptasi dari karya ‘Aidh al-Qarni dalam La Tahzan)

Singkawang,  Ramadhan 1431 H