“Gimana
Ver, bisa kan
tampil untuk show minggu depan?” Tanya Erwin dari seberang telepon.
Vera
yang belum siap menjawab pertanyaan itu hanya terdiam. Pikirannya masih
melayang ke suatu wilayah yang ia sendiri tak tahu dimana. Suatu kondisi yang
selama ini bertolak belakang dari orientasi aktifitasnya tapi akhir-akhir ini
begitu menghantuinya. Setiap pikiran itu datang hatinya merasa kosong, jiwanya
terasa hampa.
“Halo,
Ver! Kok diam?” desak Erwin. “It’s a big show honey, don’t make me disappointed”.
“Sorry
Win, aku lagi badmood nih, tapi aku akan kasi jawaban secepatnya kalo udah siap.
Please, ngertiin aku saat ini, ok!”
balas Vera seraya menutup panggilan Erwin di ponselnya.
Vera
menghempaskan tubuhnya yang seksi ke tempat tidur di apartemennya yang lumayan
mewah. Sambil menarik nafas dalam-dalam matanya menatap langit-langit kamar,
pikirannya kembali menerawang. Bayangan masa lalunya tiba-tiba menyeruak
memenuhi rongga otaknya.
Tujuh
tahun lalu ia hanyalah seorang gadis kampung ingusan yang memberanikan diri
merantau ke kota
akibat desakan ekonomi keluarga. Sejak ayahnya
meninggal dunia, ibunya yang sudah renta praktis menjadi tulang punggung
keluarga menanggung biaya hidup dan pendidikan dirinya dan tiga orang adiknya. Sebagai
anak tertua hatinya merasa terpanggil untuk membantu meringankan beban yang
ditanggung ibunya. Akhirnya, berbekal ijazah SMA ia memutuskan untuk merantau
ke ibukota meski tak tahu mau bekerja
apa. Ia merasa beruntung karena Tuhan menganugerahinya wajah yang cantik dan
tubuh yang tinggi nan seksi. Sehingga tanpa memakan waktu yang terlalu lama,
perkenalannya dengan Erwin, seorang desainer ternama mengantarnya menjadi
seorang model kelas atas dengan bayaran mahal. Yah, gadis kampung lugu bernama
Salma Maghfira itu kini telah ber’metamorfosis’ menjadi salah seorang top model
ibukota yang lebih dikenal dengan nama Vera Melati.
Vera
kembali menarik nafas dalam. Tiba-tiba terlintas wajah ibu dan adik-adiknya
yang sedang bersiap-siap melaksanakan shalat tarawih di masjid kampungnya,
sebagaimana yang tentunya ia juga lakukan dulu saat masih bersama mereka. Entah
sudah berapa kali Ramadhan ia alpa. Puasa, shalat dan ibadah lainnya hanya menjadi bagian dari
masa lalunya. Masa yang kini mulai dirindukannya lagi.
“Fir,
jangan lupa shalat ya…” terngiang selalu pesan ibunya setiap kali ia pamit
hendak kembali ke kota
saat pulang kampung.
“Iya
bu, ibu tenang aja,” Jawabnya tanpa dosa.
Padahal,
alih-alih melaksanakan shalat, hari-harinya hanya disibukkan dengan pekerjaan. Orientasinya
hanya uang, uang dan uang. Tujuan hidup yang sebenarnya sudah kabur, tertutupi
oleh sikap hedonis dan glamour. Ia sudah
merasa puas asal bisa memenuhi segala keinginannya, apalagi sudah bisa membangun
rumah untuk ibu dan adiknya di kampung serta membiayai pendidikan mereka. Ia
sudah benar-benar hanyut dalam arus kehidupan barunya.
Tapi
akhir-akhir ini ada perasaan aneh menyelinap dalam dirinya. Momentum puasa kali
ini telah mengetuk kesadaran akan spiritualitasnya yang hampa. Bayang-bayang
dosanya menguap lalu melayang-layang di depan matanya. Tiba-tiba bayangan
kematian menyergapnya dalam ketakutan tak terhingga. Bagaimana jika umurku
berakhir saat aku bergelimang dosa? Aku ingin bertobat, tapi apakah Tuhan
berkenan mengampuni pendosa sepertiku? Pikirannya mulai cemas, ragu dan
bimbang.
Sebenarnya
ia sadar, pekerjaanya sebagai model bagi sebagian masyarakat bukanlah hal yang
tabu, tapi ia juga menyadari bahwa ia dibayar bukan hanya karena busana yang ia
pakai, tapi juga karena kemolekan sebagian tubuhnya yang ia pertontonkan.
Apalagi untuk melepaskan diri dari Erwin juga bukan perkara mudah. Baginya,
Erwin bukan hanya sang desainer, tapi juga seorang manajer, bahkan lebih dari
itu ia tak sanggup menolak jika pria itu ingin merasakan tubuhnya.
Ah,
saat ini aku masih membutuhkan banyak uang, kalau aku berhenti dari pekerjaanku
sekarang, lalu aku dapat uang dari mana? Bisik hatinya lirih. Padahal adiknya
masih sekolah, bahkan sudah ada yang kuliah, dimana semua biayanya sebagian
besar menjadi tanggung jawabnya. Sementara uang pensiunan almarhum ayahnya
hanya cukup untuk makan, itupun pas-pasan.
Saat
ia larut dalam dilema, tiba-tiba ponselnya berdering.
“Aslm.
Gimana Ver, jadi nggak ikut ‘kuliah dhuha’ besok?” rupanya sms dari Ulfa, teman
yang dikenalnya secara tak sengaja di bandara setahun lalu.
Vera
baru ingat bahwa ia pernah basa basi ke Ulfa kalau ia ingin ikut ke pengajian
yang rutin di ikuti temannya itu setiap hari minggu pagi selama bulan Ramadhan.
Sebenarnya ia sama sekali tak serius dengan perkataannya saat itu, bahkan
setengah menyindir temannya itu karena baru diketahuinya telah menjadi jilbaber
sejak beberapa bulan yang lalu. Bahkan sebagai konsekwensi dari keputusannya
itu, ia rela keluar dari pekerjaanya selama ini sebagai pramugari di salah satu
maskapai ternama.
Vera
sempat bingung, jangankan ikut pengajian, setelah sepuluh hari Ramadhan tahun
ini berlalu, seharipun ia belum pernah berpuasa. Tapi nggak ada salahnya kali
ini aku ikut, sekalian cari pikiran segar ditengah kegalauan jiwaku belakangan
ini, pikirnya.
“Ok,
besok tunggu aku di rumahmu, kita berangkat sama-sama,” balasnya segera.
* * *
Cahaya
matahari pagi mulai menyengat. Embun di dedaunan pun mulai mengering. Di bulan
puasa, terutama di hari libur akhir pekan seperti ini suasana masih terasa
sangat sepi. Sebagian orang masih larut dalam tidur mereka sehabis shalat
shubuh. Tapi Nadia Ulfa sudah sibuk berkemas di rumahnya yang asri. Sebenarnya
di bulan puasa ini ia tidak sesibuk di luar bulan puasa, karena tidak perlu
menyiapkan sarapan pagi untuk suami dan anak semata wayangnya,. Tapi pagi ini
ia akan pergi ke pengajian rutin minggu pagi di Masjid yang berlokasi tidak
terlalu jauh dari rumahnya.
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum
Salam!” jawab Ulfa. “Oh.. Vera, apa kabar? Silahkan masuk!”
“Alhamdulillah
baik, terima kasih.” Balas Vera seraya masuk kedalam rumah. “Pagi-pagi sudah sudah
sibuk nih! Apa nggak takut capek, kan
lagi puasa?”
“Puasa
kan bukan
alasan untuk bersikap lemah, apalagi dalam melakukan kebaikan. Semua pekerjaan
yang baik kalau kita niatkan ibadah, insya Allah mendapat pahala. Termasuk mengurus
rumah, suami dan anak.” Jelas Ulfa. “Kalau Vera gimana? Kapan ngurus suami dan
anak?” lanjutnya setengah menyindir.
Vera
yang tak menyangka mendapat pertanyaan seperti itu tak bisa menyembunyikan rasa
kagetnya. Bukan hanya karena jawaban Ulfa tentang aktifitas saat puasa tapi
juga pertanyaan tentang rumah tangga. Jangankan suami dan anak, mengurus diri
sendiri saja ia merasa belum beres. Ia jadi teringat kembali bahwa ibunya
pernah menyinggungnya dengan mengatakan sudah tidak sabar ingin menimang cucu.
Seketika Vera sadar, bahwa ia tak muda lagi, sebentar lagi usianya sudah kepala
tiga. Teman-teman sekolahnya rata-rata sudah berkeluarga, bahkan ada yang sudah
punya anak tiga. Sebenarnya terpikir juga olehnya ingin punya suami yang baik
dan shaleh seperti Ulfa, tapi laki-laki shaleh mana yang mau sama perempuan
seperti dirinya?
“Ah…
kamu ada-ada saja. Oh ya apa aktifitas kamu sekarang?” Vera mengalihkan topik
pembicaraan.
“Selain
mengurus rumah tangga, aku berjualan jilbab dan busana muslimah lainnya,
sementara kalau pagi aku mengajar di Taman
Kanak-kanak.”
“Sampai
saat ini aku masih nggak ngerti, kok bisa-bisanya kamu berhenti jadi pramugari
hanya karena jilbab. Padahal hari gini susah lho cari pekerjaan dengan gaji
besar apalagi bisa sekalian jalan-jalan. Apa sebanding dengan penghasilan yang
kamu dapat sekarang?”
“Rezeki
itu tidak bisa dinilai dari nominalnya saja, tapi keberkahannya dan rasa syukur
kita. Banyak orang yang kita anggap melimpah harta ternyata dia masih merasa
kekurangan, dan tidak sedikit yang kelihatannya sederhana tapi ia bahagia dan
bersyukur.”
“Memang
awalnya agak sulit bagiku untuk memilih antara pekerjaan dan jilbab, tapi
sekarang aku bersyukur dengan keputusanku, apalagi aku jadi punya waktu cukup
untuk keluargaku,” lanjut Ulfa.
Vera sempat tertegun sejenak. Ia mulai
merasakan kebenaran dalam kata –kata Ulfa. Harta dan kebahagiaan ternyata tidak
selalu satu paket, bahkan terkadang saling menegasikan. Karena kebahagiaan
sesungguhnya bersumber dari hati yang ikhlas akan setiap kondisi yang dialami dan
keyakinan akan takdir Ilahi.
“Kok
melamun? Kita berangkat aja yuk… nanti kita terlambat, sayang sekali kalau
ketinggalan materi pengajian,” ajak Ulfa membuyarkan lamunan Vera.
“Oh
ya..ya.. ayo!” sahut Vera gelagapan.
* * *
Suara
orang tadarus Al-Quran masih terdengar sayup-sayup dari pengeras suara di
masjid. Malam pun semakin beranjak larut. Meski sudah berusaha memejamkan matanya,
Vera tetap tak bisa lelap. Otaknya masih terus memikirkan pengajian yang ia
ikuti tadi pagi. Ia mengakui bahwa ustadz yang menyampaikan materi memang
tampan dan kata-katanya mengalir bijaksana. Sempat terbayang dalam benaknya
betapa bahagianya seandainya pria itu bisa menjadi imam bagi dirinya. Meskipun
ia juga berpikir bahwa orang seperti dirinya mungkin tak pantas untuk itu, tapi
setidaknya membayangkan saja Vera sudah senang.
Lebih
dari itu sebenarnya materi yang disampaikan ustadz tersebutlah yang lebih mengusik
perasaannya saat ini. Jiwanya sangat tersentuh dengan dalil-dalil tentang
taubat yang didengarnya. Ia semakin yakin akan keputusan yang harus segera
diambil dan menurutnya tidak ada alasan untuk menundanya lagi. Apalagi saat ini
masih dalam momentum Ramadhan. Bulan yang penuh berkah, rahmah dan maghfirah
Allah SWT.
Tiba-tiba
Vera dikagetkan oleh suara panggilan di ponselnya, rupanya dari Erwin. Sejenak
ia sempat ragu, tapi dengan ucapan bismillah akhirnya ia angkat juga.
“Hallo
Vera sayang, sudah ada jawaban kan?”
“Insya
Allah aku bisa, tapi dengan satu syarat!”
“Oh
begitu ya, memang apa syaratnya?”
“Aku
bersedia tampil hanya jika mengenakan jilbab!”
“Hah!
Kamu serius? Apa aku tidak salah dengar?” Erwin tak percaya.
“Tidak,
aku sangat serius, jika kamu tidak setuju, sebaiknya cari model lain saja,”
tegas Vera. “Oh ya, kamu pikir aja dulu, maaf aku sudah ngantuk banget nih,
assalamualaikum!” lanjutnya mengakhiri percakapan.
Vera
sudah mantap dengan keputusannya kali ini. Tak terpikir lagi olehnya mengingkari
ketetapan hatinya. Yang ia pikir justru bagaimana memulai ‘kehidupan’ barunya
terutama dalam menjalani sisa bulan Ramadhan ini sebaik-baiknya. Ia ingin
menebus apa yang telah diabaikannya selama ini dengan ibadah dan menimba ilmu
sebanyak-sebanyaknya. Ia sadar bahwa imannya masih lemah dan ilmu agamanya
masih dangkal. Karena itu ia harus banyak sharing dengan sahabat-sahabatnya dan
ahli agama yang bersedia dengan ikhlas membantunya.
Dalam
sunyi malam itu bibirnya sempat berbisik lirih.
“Ya
Allah, dinginkan panasnya kalbu ini dengan salju keyakinan,
Padamkan
bara jiwa ini dengan air keimanan, dan
Tuangkan
dalam nafsu yang bergolak ini kedamaian…”
(doa
ini di adaptasi dari karya ‘Aidh al-Qarni dalam La Tahzan)
Singkawang, Ramadhan 1431 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar