Sabtu, 30 November 2013

LEARN TO LIFE TOGETHER

Di abad yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, sebuah kejadian dengan sangat cepat menyebar keseluruh penjuru dunia. Penyebaran informasi yang radikal dan global dengan tidak mempertimbangkan kondisi tertentu di suatu daerah, mendorong menguatnya kepentingan identitas dalam pengertian luas, seperti identitas ekonomi (kaya-miskin), politik (nasionalis-sektarian), etnis, agama, adat istiadat, bahasa dan lain-lain. Kepentingan identitas semakin mengkristal menyusul adanya pertarungan antara berbagai kepentingan untuk merebut posisi dominan. Akhirnya konflik pun menjadi sebuah keniscayaan.

Konflik sesungguhnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah peradaban manusia. ia merupakan bagian dari realitas sejarah yang usianya relatif hampir sama dengan usia keberadaan manusia itu sendiri. Karena secara intrinsik, sejak manusia dilahirkan telah membawa berbagai macam perbedaan antara satu dengan lainnya, sehingga konflik pun inheren di dalamnya. Menurut Taquiri dalam Newstorm (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang dapat terjadi dalam berbagai keadaan sebagai akibat dari munculnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih secara terus menerus.

Pada hakikatnya, konflik tidak hanya diartikan sebagai suatu pertentangan yang meluas (escalation) dari dua atau lebih individu/kelompok sosial, atau situasi pertentangan yang secara fisik mudah dilihat secara kasat mata seperti berlangsungnya pertikaian, pertengkaran, kekerasan sosial, kerusuhan dan lain sebagainya. Tapi suatu ketidak sesuaian, kesenjangan, dan pertentangan yang tidak terdeteksi oleh kasat mata (latent conflict) juga dapat diartikan sebagai sebuah konflik. Tak jarang, dari konflik laten yang tidak dikelola dengan baik inilah melahirkan konflik yang meluas bahkan dalam bentuk kekerasan fisik.

Secara intrinsik –selain karena adanya perbedaan, menurut hemat penulis ada beberapa hal mendasar yang menjadi pemicu (trigger) timbulnya konflik, antara lain: pertama, adanya rasa inferioritas (merasa lebih kecil, rendah, minoritas dll.) dan superioritas (merasa lebih kuat, hebat, besar dll.) dalam suatu individu ataupun kelompok. Rasa inferioritas dan superioritas ini jika sudah akut akan melahirkan sebuah penindasan di satu sisi dan atau pemberontakan di sisi yang lain.

Kedua, adanya logika hitam putih atau klaim diri paling benar sehingga yang lain pasti salah. Logika ini pada kondisi normal tidak begitu berbahaya, tapi pada kondisi yang ekstrim terkadang mengarah pada asumsi bahwa yang dianggap salah harus dimusuhi atau bahkan dilenyapkan. Keyakinan seperti ini seringkali menjadi legitimasi seseorang/kelompok untuk melakukan kekerasan baik atas nama pribadi atau kelompok. Dua sebab yang menjadi pemicu tersebut kemudian semakin potensial ketika berada dalam iklim hukum yang tidak adil, kemakmuran yang tidak merata, serta adanya kelompok-kelompok yang sengaja mencari keuntungan dari adanya konflik tersebut (mengail di air keruh).

Sebenarnya faktor-faktor pemicu konflik di atas bisa dieliminir seandainya di jembatani dengan adanya sebuah dialog yang dialogis, yaitu dialog yang tidak hanya sekedar perjumpaan antar individu atau kelompok (artifisial-akademis), melainkan adanya upaya saling mengetahui pihak lain secara lebih mendalam, sehingga melahirkan pemahaman akan keunikan/kekhasan masing-masing. Pemahaman ini akan berimplikasi pada sikap saling pengertian, saling menghormati dan menghargai (toleransi).

Masalahnya adalah bahwa dialog yang demikian terkadang hanya tumbuh subur di kalangan masyarakat yang berpendidikan. Di masyarakat awam yang notabene berpendidikan rendah, dialog biasanya kurang mendapat tempat yang layak. Ketika terjadi suatu masalah, penyelesaiannya bukan menggunakan otak tapi langsung otot. Meskipun demikian, penyelesaian masalah/konflik secara fisik ini ternyata tidak hanya menjadi trade mark masyarakat awam. Buktinya, seringkali kekerasan terjadi justru di kalangan terpelajar bahkan kaum elit intelektual, seperti mahasiswa, anggota legislatif dan lain-lain. Jadi, sebenarnya apa yang salah dengan sistem pendidikan kita?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, barangkali kita harus kembali pada empat aspek pendidikan menurut UNESCO, yaitu  Learn to know (kognitif)  Learn to be (afektif)  Learn to do (psikomotorik)  Learn to life together (toleransi). Selama ini, sistem pendidikan di sekolah kita lebih mengedepankan tiga aspek yang pertama dan melupakan yang terakhir, yaitu pembelajaran untuk bersatu dalam perbedaan (unity in variety) atau pendidikan pluralisme. ‘Pluralisme’ disini diartikan sebagai suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain terlepas dari perbedaan yang ada.

Karena itu, langkah awal yang harus dilakukan adalah mengubah paradigma pendidikan yang selama ini dirancang secara sentralistik dan monolitik serta mengabaikan keanekaragaman etnis, budaya dan adat istiadat yang ada. Pendidikan secara khusus harus menjadi salah satu aktor kunci penciptaan budaya perdamaian dengan menumbuhkan solidaritas sosial, penghargaan atas keanekaragaman bangsa dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Pendidikan harus dirancang agar menghasilkan lulusan yang mampu memahami dan menerima berbagai perbedaan yang ada.

Pendidikan merupakan sarana vital bagi perdamaian karena beberapa alasan. Pertama, kekerasan berawal dari pikiran manusia. Kedua, penelitian menunjukkan bahwa kekerasan terkadang merupakan sifat yang diturunkan. Jadi, budaya perdamaian juga merupakan sesuatu yang harus dan dapat dipelajari sama dengan mata pelajaran lain yang selama ini diajarkan di sekolah. Dengan demikian diharapkan akan muncul generasi masa depan yang saling memahami dan menghormati perbedaan yang ada tanpa harus kehilangan identitas atau keunikan dirinya masing-masing.