Rabu, 27 Juli 2011

KETIKA TASBIH BERCINTA2


              “Hah, hampir saja kesiangan lagi!” seru Tasbih seraya melompat dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi setelah melihat jarum jam di angka 03.20 dini hari. Kesibukannya mempersiapkan ujian tesis membuat jam tidurnya seringkali larut. Akibatnya jadwal shalat tahajjud yang rutin dilaksanakannya kadang terlambat. Ia bertekad dalam semester ini sudah pulang ke negerinya dengan memboyong gelar Master. Ia sudah rindu kampung halamannya, rindu dengan keluarga yang telah ditinggalkannya hampir dua tahun terakhir, sejak ia memutuskan untuk melanjutkan kuliah masternya ke negeri Jiran, tepatnya di Universitas Kebangsaan Malaysia. Ia pikir, dengan keluar dari kotanya ia dapat lari dari kenangan pahitnya patah hati saat ditolak seorang wanita idamannya, Hanifa. Gadis jilbaber aktivis LDK yang telah menyebabkan titik balik gaya hidupnya saat ini hingga seratus delapan puluh derajat. Tasbih alias Boby yang dulunya playboy sejati kini telah menjadi pria yang merasa risih berdekatan dengan wanita bukan muhrim dan menundukkan pandangan ketika bertatapan dengan lawan jenisnya.
            Di keheningan malam, dalam sujudnya yang panjang, seringkali Tasbih tersedu saat mengingat prilaku jahiliyahnya di masa lalu. Entah sudah berapa wanita yang ia sakiti hatinya. Tak terhitung kata-kata bohong yang ia lontarkan untuk memuluskan status palsunya. Terkadang ia merasa sebagai manusia yang paling kotor ketika terbayang saat-saat berduaan dengan lawan jenis yang bukan muhrim. Tindakan-tindakan yang tak pantas dan dilarang keras agama sudah menjadi hal yang lumrah baginya saat itu. Berpacaran terasa hambar jika tanpa pegangan tangan dan berciuman atau bahkan yang lebih dari itu. Padahal sekecil apapun perbuatan dosa akan dipertanggung jawabkan di akhirat nanti.
            Kegundahan akan masa lalu kelamnya baru terhibur saat ia mengingat kata-kata DR. ‘Aidh al-Qarni dalam Lā Tahzan-nya: “Jangan pernah hidup dalam mimpi buruk masa lalu, atau di bawah payung gelap masa silam. Selamatkan diri anda dari bayangan masa lalu! Apakah anda ingin mengembalikan air sungai ke hulu, matahari ke tempatnya terbit, seorok bayi ke perut ibunya, air susu ke payudara sang ibu, dan air mata ke dalam kelopak mata? …Membaca kembali lembaran masa lalu hanya akan memupuskan masa depan, mengendurkan semangat, dan menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga”.
*  *  *
            Tak terasa dua tahun sudah Tasbih menjalani studinya. Ternyata usahanya selama ini tidak sia-sia setelah dalam ujian tesis ia dinyatakan lulus dengan predikat summa cum laude. Segera Tasbih bersujud syukur karena ia sadar semua ini karena pertolongan dari Allah SWT. Kemudian setelah berterima kasih kepada para dewan penguji ia segera menghubungi Amir Musthafa, rekannya yang berasal dari kota yang sama dengannya dan sedang menempuh program Doktoral di universitas yang sama pula. Seringkali Amir menjadi teman diskusinya bukan hanya tentang perkuliahan tetapi juga segala hal yang terkadang sulit ia pecahkan. Tasbih mengajak Amir bertemu di salah satu restoran tempat mereka biasa makan siang. Sekalian tasyakkuran dengan mentraktir orang yang berjasa dalam studinya, pikir Tasbih.
            “Selamat Akh, semoga ilmunya barokah dan bermanfaat,” ucap Amir saat bertemu Tasbih yang sudah menunggunya di salah satu sudut restoran tersebut.
            “Amiin, semua ini juga berkat doa dan bantuan antum, jazakallah!” balas Tasbih merendah sambil mempersilahkan rekannya duduk.
            “Ah, antum terlalu membesar-besarkan. Ngomong-ngomong apa rencana antum selanjutnya, melanjutkan Doktoral atau… hmm pulang kampung dan menikah?” goda Amir sambil tersenyum penuh selidik.
            “Kalau pendapat antum bagaimana?” Tasbih balik tanya.
            “Pendapat ana sih, sebaiknya menikah dulu, setelah itu kalau mau melanjutkan studi, ya silahkan! Kalau kita sudah merasa sanggup untuk menikah, tidak baik ditunda-tunda, selain untuk menghindarkan hawa nafsu dari perbuatan yang dilarang agama bukankah menikah juga menyempurnakan separuh agama? Sudah ada calon belum? Atau masih belum bisa melupakan  sang gadis impian di masa lalu, siapa namanya?”
            “Hanifa.”
            “Gimana kabarnya sekarang? Maaf kalau pertanyaan ini membuat antum tak nyaman!”
            “Ah, nggak juga, kabar terakhir ana terima tahun lalu, katanya dia sudah menjadi Dokter di sebuah rumah sakit besar di sana dan sudah dikhitbah seseorang, setelah itu nggak tahu lagi kabarnya.” Jawab Tasbih sambil mempersilahkan Amir menikmati hidangan yang sudah tersedia. “Sebenarnya ana juga berpikiran seperti antum, tapi masalahnya adalah belum ada gadis yang mau disunting!”
            “Yang benar akh? Di Malaysia ini ada ribuan gadis baik dan solehah yang sulit menolak dilamar pria sholeh setampan dan secerdas antum!”
            “Yah, begitulah. Sebenarnya beberapa waktu lalu ana sudah ta’aruf dengan seorang akhwat melalui rekan ana juga. Alhamdulillah kitapun sama-sama cocok. Tapi setelah dikomunikasikan dengan orang tua si gadis, ternyata mereka menolak disebabkan ana orang Indon, katanya selain jarak yang jauh orang Indon di pandang mereka under estimate gitu, akhirnya gagal juga,” jelas Tasbih dengan raut kesal.
            “Dasar orang Malay, karya budaya Indonesia saja yang mau dirampoknya!” balas Amir geram. “Memang sebagian orang, bukan hanya di sini saja, di negeri kita juga banyak orang tua yang berpendidikan tinggi tapi masih menerapkan kriteria yang kurang tepat dalam memilih calon menantu, misalnya karena alasan suku, kekayaan, latar belakang keluarga dan berbagai alasan lain yang tidak syar’i. Padahal dalam Islam kriteria  prioritas dalam mencari pasangan adalah karena agama dan ketaqwaannya.” Sejenak Amir berhenti sambil menghabiskan minuman digelasnya.
“Bukankah rezeki sudah di atur oleh Allah, tidak sedikit anak penjahat menjadi kyai dan yang jelas tidak ada orang yang dapat memilih untuk dilahirkan dari suku tertentu, apalagi tak ada dalilnya bahwa suku tertentu lebih baik dari yang lainnya, bahkan dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa perbedaan suku dan bangsa sengaja Allah ciptakan agar saling kenal mengenal. Tapi jangan bersedih akh! Yakinlah bahwa kegagalan demi kegagalan yang antum rasakan itu merupakan proses yang Allah rencanakan untuk mendapatkan sosok isteri yang terbaik dunia akhirat.” Sambungnya.
            “Amiin, semoga akh, oh ya insya Allah ana akan pulang kampung minggu depan, tak sabar rasanya bertemu keluarga.”
            “O ya? Alhamdulillah, ana yakin di sana orang-orang juga sudah tak sabar menunggu Bapak Rizky Tasbihullisan, ST. M.Eng dengan luapan ilmu-ilmunya he..he..” goda Amir hingga wajah Tasbih  memerah tersipu. “Eit, hampir lupa akh, gimana kalo antum ana kenalkan dengan teman istri ana. Insya Allah orangnya sholehah, agamanya baik, berpendidikan dan tentu saja cantik. Kalau tidak salah dia lulus S1nya juga tahun ini sama dengan antum.”
            “Boleh juga jika antum yang menjamin, Insya Allah ana bersedia. Kapan kira-kira bisa ta’aruf?” jawab Tasbih tak sabar.
            “The sooner the better, saat antum tiba nanti, secepat mungkin ana akan menghubungi si gadis untuk bersiap datang ke rumah ana, dia dan antum kan sama-sama tau rumah ana, jadi transportasinya biar lebih mudah, gimana?”
            “Insya Allah ana siap, semoga ini memang pilihan terbaik bagi Allah untuk ana.”
            “Amiin yaa Mujiibassaailiin…”
*  *  *
            Pesawat yang membawa Tasbih take off di KL International Airport pukul 10.30, diperkirakan jika tidak ada delay akan landing di Bandara Supadio Pontianak pada sore hari setelah transit di Bandara Internasional Soekarno-Hatta Cengkareng Jakarta. Selama dalam perjalanan Tasbih tak bisa memejamkam mata meski sesaat. Pikirannya selalu membayangkan wajah Lana, lengkapnya Lana Amrina Rosyada, gadis cantik berjilbab yang gambarnya didapat melalui facebook tiga hari yang lalu, lengkap dengan biodatanya. Tak sabar rasanya bertemu langsung dengan gadis tersebut.
            “Astaghfirullah, Ya Allah lindungi hamba dari nafsu setan yang menggoda hati hamba dari mencintai seseorang karena selain-Mu,” desah Tasbih setelah menyadari nafsunya yang mulai bergerak liar.       
            Tiga hari kemudian, setelah merasa lepas dari rasa lelah perjalanan dan rasa kangen berkumpul dengan keluarganya. Tasbih berpamitan kepada orang tuanya untuk bertemu dengan bakal calon isterinya. Tentunya setelah diceritakannya tentang sosok gadis tersebut sejauh pengetahuannya sementara ini. Tanpa kesulitan yang berarti dan waktu yang lama, Toyota Yaris hitamnya segera membawaTasbih menemukan rumah Amir. Hampir sebagian besar seluk beluk jalan di kotanya ia hafal, hasil dari hobinya jalan-jalan di masa lalu.
Di halaman rumah yang luas itu ia melihat dua mobil terparkir rapi. Setelah salamnya dijawab dari dalam, ia segera masuk. Di ruang tamu tersebut rupanya sudah ada empat orang, dua laki-laki dan dua orang perempuan berjilbab. Setelah berjabatan tangan lalu seorang pria yang mengaku adik dari isteri sahabatnya memperkenalkan orang-orang yang ada di tempat tersebut.
“Subhanallah,” desisnya pelan. Ternyata gadis yang akan dijodohkan dengannya lebih cantik dari yang dia lihat di foto. Dia lalu teringat bahwa wajah itu mirip dengan pemeran Ayatul Husna dalam film Ketika Cinta Bertasbih.
“Saya Rizky Tasbihullisan, teman akhi Amir,” balasnya basa-basi, karena yang lain tentu sudah tau siapa dia. Tasbih tak bisa menyembunyikan sikap groginya. Kondisi seperti saat ini mengingatkannya pada peristiwa yang sama kala ia melamar Hanifa tiga tahun yang lalu.
Setelah berbasa-basi sebentar, perbincangan mulai masuk ke ranah yang lebih serius, yaitu kesan atau jawaban dari kedua pihak. Dan hasilnya adalah dua-duanya tidak ada masalah alias OK. Tapi tidak selesai sampai disitu saja, pihak si gadis masih mengajukan syarat kepada Tasbih.
“Kalau saudara memang serius, kami minta agar antum datang bersilaturrahim ke keluarga besar kami, saat itulah baru bisa dihasilkan keputusan finalnya,” kata laki-laki yang merupakan abang dari Lana.
“Ana tidak keberatan, insya Allah dalam waktu dekat ana bersama orang tua akan bersilaturrahmi ke keluarga besar antum,” balas Tasbih penuh semangat.
 Sepanjang perjalanan pulang, lisan Tasbih basah dengan lafadz tahmid sambil sesekali mendendang lagu nasyid “Mencari Pasangan”. Kebahagiaannya saat itu tak telukiskan dengan kata-kata. Sehingga tidak ada lagi yang terpikir olehnya kecuali segera pulang dan menceritakan hasil pertemuan itu kepada orang tua dan keluarga besarnya. Ia berharap hasil pertemuan dua keluarga besar nanti akan sama dengan pertemuannya kali ini, bahkan kalau bisa sekaligus menentukan tanggal pernikahan. Namun, sebelum mobilnya tiba di rumah, tiba-tiba telepon selularnya berbunyi. Ternyata berasal dari nomor Lana. Antara percaya dan tidak ia menjawab panggilan itu dengan hati berdebar bahagia.
“Akhi Tasbih, ana abangnya Lana, kami sekarang dirumah sakit akibat kecelakaan sepulang dari pertemuan tadi!”
“Masya Allah, gimana kabar antum berdua?” Tanya Tasbih setengah tak percaya.
“Ana hanya cidera ringan tapi Lana sedang kritis di ruang IGD!”
“Baik, ana akan segera ke sana!” balas Tasbih seraya menutup telepon selularnya. Dengan cepat ia memutar mobilnya ke arah rumah sakit yang dimaksud abang Lana tadi. Tak begitu lama ia tiba di rumah sakit dan langsung ke IGD. Tasbih segera disambut pelukan Abang Lana.
“Inna lillahi wainna ilaihi rajiuun… Lana sudah pergi untuk selama-lamanya,” kata Abang Lana dengan terbata disertai genangan air mata. Sesaat Tasbih tak percaya.
“Tak mungkin, coba diperiksa lagi, mungkin hanya koma!” desaknya.
“Sudahlah akh, dokter sudah memeriksanya, sabar dan tawakallah, karena kita ini milik Allah dan akan kembali kepada Allah,”
Setelah beberapa saat berlalu, seluruh keluarga besar Lana dan Tasbih yang juga ada di tempat itu segera membawa jenazah Lana pulang. Separuh nafas Tasbih terasa terbang bersamaan dengan berlalunya jasad yang telah menjadi bakal calon isterinya beberapa jam lalu itu meninggalkan rumah sakit. Badannya yang lunglai hampir saja terjatuh saat tiba-tiba dia melihat sosok perempuan berpakaian serba putih yang diyakininya salah satu dokter di rumah sakit tersebut. Semakin dekat perempuan itu berjalan ke arahnya ia semakin yakin kalau ia mengenal perempuan itu.
“Hanifa?!” Tanya Tasbih meyakinkan.
“Benar, kalau tidak salah, anda adalah Tasbih?! Sama penasarannya.
“Anda bertugas di sini?”
“Ya benar, sejak setahun lalu, bukannya anda sedang menempuh pascasarjana di luar negeri, kok ada disini, siapa yang sakit?”
“Ya, baru tiga hari lalu tiba di kota ini, tapi baru beberapa jam lalu berta’aruf dengan seorang gadis, ternyata barusan dia sudah di panggil Allah dalam sebuah kecelakaan,” jelas Tasbih dengan nada sedih.
“Inna lillah… saya turut berduka cita atas musibah yang menimpa anda.”
“Jazakallah, sampaikan salam ana buat suami anda,” pesan tasbih saat mereka hendak berpisah.
“Apa? Maaf, tapi saya belum berumah tangga, calon suami saya juga meninggal akibat kecelakaan setengah tahun yang lalu,” jawab Hanifa lirih.
“Maaf ana tidak bermaksud mengungkit luka hati anda, ana juga turut berduka cita,” sesal Tasbih.
*  *  *
Waktu terus berlalu. Meski sudah berusaha menghapus kenangan pahitnya di tinggal Lana, tapi butuh waktu tiga bulan baru mulai terasa ringan hatinya kala mengenang peristiwa tersebut. Terutama saat ia mulai disibukkkan dengan pekerjaan barunya sebagai Dosen di kampus tempat ia kuliah dulu sejak sebulan yang lalu.
Pada suatu sore, saat Tasbih berjalan di koridor kampus, tanpa sengaja ia berpapasan lagi dengan Hanifa.
“Lho, kok ada disini?” Tanya Tasbih kaget karena tak menyangka akan bertemu lagi dengan mantan gadis pujaannya itu. Meskipun kalau mau jujur dihatinya yang paling dalam sebenarnya ia masih mengagumi gadis tersebut hingga saat ini.
“Saya baru dari ngisi kuliah di fakultas kedokteran, anda?” Hanifa balik tanya.
“Alhamdulillah, Ana sejak sebulan lalu diterima sebagai dosen di fakultas tehnik. Oh ya, maaf sebelumnya, bagaimana kabar dua teman anda yang dulu?”
“Maksud anda Arini dan Evita? Mereka telah menikah setelah lulus kuliah, setelah itu kami jarang berkomunikasi.”
 “Ooo, sebentar-sebentar,” tahan Tasbih saat Hanifa akan segera pergi. “Begini, maukah anda menikah dengan ana?” serang Tasbih sedikit ragu, berbeda dengan yang pernah dilakukannya dulu.
“Anda serius?” balas Hanifa kaget. Ia tidak menyangka Tasbih akan mengulangi kenekatannya tiga tahun yang lalu.
“Yah, tentu saja ana serius,”
“Maaf, saat ini saya tidak bisa menerima lamaran anda!” tegas Hanifa.
“Hah, mengapa?” Tasbih penasaran.
“Kecuali nanti saat anda melamar langsung ke orang tua saya!” balas Hanifa seraya berlalu dengan senyum tipis mengambang di bibirnya dan hati yang berbunga-bunga meninggalkan Tasbih yang masih shock tak percaya.
“Alhamdulillah,” seru Tasbih tak lama kemudian lalu bersujud syukur di tempat itu juga. “Inikah proses yang Engkau pilihkan untuk hamba dalam mendapatkan gadis terbaik yang Engkau kehendaki Ya Allah?”
Sepanjang perjalanan pulang, terbayang kisah perjalanan hidupnya selama beberapa tahun terakhir, khususnya dalam usahanya mendapatkan calon isteri. Dia lalu teringat kata-kata bijak Paulo Coelho dalam masterpiece-nya The Alchemist, bahwa setiap pencarian dimulai dengan keberuntungan bagi si pemula, dan setiap pencarian diakhiri dengan ujian berat bagi si pemenang!

Siantan Hilir, 03 Oktober 2009 pkl. 00.00

(Cerpen ini pernah di muat di harian Pontianak Post edisi 11 Oktober 2009)