Rabu, 29 Juni 2011

Refleksi Kontekstual Isra' Mi'raj*


IMAN, ILMU DAN KESADARAN

Oleh : Mohammad Amin

Alkisah, sekembalinya dari isra’ mi’raj, Nabi Muhammad SAW menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada masyarakat. Mendengar berita ‘aneh’  tersebut, sebagian dari mereka yang sebelumnya telah telah membenarkan kenabiannya ada yang berbalik murtad, bahkan tak jarang yang mengacau dan membangkitkan fitnah besar.
Sebagian tokoh musyrik tersebut kemudian mengadu kepada Abu Bakar ra.
“Hai Abu Bakar, kawan akrabmu telah menyatakan diri berjalan di malam hari ke bait al-maqdis (Masjid Al-Aqsha, Palestina), lalu ke langit dan kembali lagi menjelang subuh. Bagaimana menurutmu?”
Abu Bakar pun menjawab dengan tenang dan mantap.
“Kalau hal itu dinyatakan olehnya, sungguh aku telah membenarkannya sepenuh hatiku, bahkan yang lebih hebat dari itu!”
Konon, karena peristiwa tersebut, sahabat nabi yang paling sepuh ini digelari al-Shiddiq (yang membenarkan).
Tak puas, tokoh musyrik Quraisy tersebut kembali dan bertanya kepada Nabi.
“Coba terangkan tentang kafilah kami yang telah berangkat ke Syiria. Apakah engkau menemui sesuatu dari mereka? Bagaimana keadaannya dan kapan mereka sampai ke Mekkah?”
Nabi menjawab, “Aku melewati onta-onta milik suku anu di Tan’im (berlokasi tidak jauh dari Mekkah), berjumlah sekian orang, bawaannya sekian, dan keadaannya demikian. Coba tanyakan kalau mereka pulang nanti.”
  Kemudian mereka pun keluar di akhir malam, menunggu kafilah mereka untuk membuktikan keterangan Nabi tersebut. Setelah kafilah datang ternyata semua semua yang dikatakan Nabi Muhammad SAW benar adanya. Akan tetapi akibat sifat keras kepala mereka, sehingga meskipun sudah terbukti kebenarannya, mereka tetap bersikeras tidak mau beriman bahkan menganggapnya sebagai ilmu sihir. (Al-Khaubawi: 1987)
Sekelumit kisah di atas adalah sebagian kecil dari berbagai peristiwa yang berhubungan dengan perjalanan fenomenal Nabi Muhammad SAW dalam Isra’ Mi’raj.
Jika dicermati lebih dalam, ada dua mainstream yang paradox dari kisah tersebut. Antara lain, Abu Bakar ra. yang dikenal sebagai salah satu generasi pertama sahabat nabi yang memeluk Islam (al-Sabiqun al-Awwalun) dengan keimanan yang tertancap kuat dalam jiwanya, tidak sulit untuk meyakini peristiwa isra’ mi’raj Nabi tersebut. Karena iman yang sejati tidak bertumpu pada kekuatan ilmu (pengetahuan) an sich, akan tetapi bersumber dari keyakinan terdalam yang dimanifestasikan dalam perkataan dan perbuatan nyata.
Nah, keimanan yang demikianlah yang dapat membawa pemiliknya mencapai prestasi puncak dambaan setiap muslim, yaitu maqam taqwa, yang di antara cirinya adalah meyakini hal-hal ghaib atau yang berada diluar jangkauan nalar manusia atau supra-rasional (QS. 2: 3)
Sementara itu, musyrikin quraisy –dengan latar belakang keingkaran atau kekafiran akan risalah kenabian Muhammad, saat mendengar berita ‘ganjil’ yang disampaikan nabi, alih-alih beriman, mereka bahkan menuduh semua itu sebagai sihir yang dilakukan Muhammad untuk memperdayai mereka. Karena orang yang kafir, diberi peringatan atau tidak, sama saja. Mereka tetap tidak akan percaya (QS. 2: 6).
Padahal sebagian keterangan Nabi tersebut sudah mereka buktikan sendiri kebenarannya. Hal ini menunjukkan bahwa, ilmu (bukti pengetahuan) yang mereka miliki tidak otomatis menggiring mereka pada sebuah ‘kesadaran’  (hidayah), sebaliknya justru semakin membutakan hati mereka.
Nabi sendiri pernah bersabda, bahwa barang siapa yang bertambah ilmunya, tetapi tidak berdampak pada bertambahnya hidayah atau kesadaran aplikatifnya, maka dia tidak akan semakin dekat dengan Sang Pencipta bahkan akan semakin jauh.
Jika ditarik pada konteks Indonesia kekinian, kita mulai dengan pertanyaan, kenapa berbagai kejahatan dalam segala bentuknya begitu marak terjadi?
Sebagian orang menilai, tingkat pendidikan rakyat Indonesia masih terbilang rendah. Tentu penilaian ini tidak salah, meski tidak sepenuhnya benar. Buktinya berbagai kejahatan besar seperti korupsi, pembunuhan, bahkan pelecehan seksual sebagian dilakukan –paling tidak melibatkan- para pejabat yang tidak bisa dikatakan berpendidikan rendah, bahkan menurut salah satu media terkemuka edisi tahun lalu (2004) departemen terkorup adalah departemen agama!
Ironis memang, tapi itulah gambaran moralitas bangsa Indonesia. Ribuan sarjana yang dilahirkan dari ratusan perguruan tinggi tiap tahunnya, tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan etika warga bangsa secara umum. Kondisi ini menunjukkan, ternyata ‘orang pintar’ tidak serta merta menjadikan dirinya sebagai ‘orang benar’. Ilmu saja tidak cukup menggiring pada ‘kesadaran’ bersikap dan bertingkah laku sesuai ajaran Tuhan, tanpa keimanan sejati yang terpancar dari jiwa setiap muslim (QS. 8:3-4).
Semoga momentum peringatan isra’ mi’raj setiap tanggal 27 Rajab ini tidak dilewatkan sebatas seremonial belaka, atau hanya sebagai pelengkap rutinitas PHBI, tapi lebih dari itu adalah dengan menarik berbagai ‘ibrah yang terkandung di dalamnya sebagai landasan pijak dalam bersikap dan bertingkah laku yang lebih baik.
Last but not least, meraih ‘kesadaran’ atau hidayah tidak cukup hanya dengan dengan menunggu anugerah, tapi harus dijemput dengan riadhoh dalam bentuk membiasakan diri dengan amal ibadah dan menjauhi aneka maksiat serta memperbanyak do’a kepada Allah SWT.
Ihdinash shiraathal mustaqiem...
Shiraathal ladziina an’amta alaihim...
Ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladh dhaalliin...
Amiiin..
  
*Artikel ini pernah dimuat di Harian Pontianak Post edisi 1 September 2005

ARJUNA MENCARI JODOH



Terik matahari siang itu terasa membakar kulitku. Udara kering ditambah hawa yang begitu gerah membuat kepala menjadi agak pusing. Meski sudah sekitar satu jam perjalanan dari desa Gading kutempuh bersama abangku, tapi masih butuh separuh waktu lagi untuk sampai dirumahku. Perjalanan pulang ini terasa begitu lama, padahal tadi pagi ketika berangkat terasa ringan dan cepat. Apa karena keberangkatanku didukung oleh energi senang, harapan sekaligus penasaran yang sebulan belakangan ini menghantui hari-hariku? Sementara pulangnya terasa begitu berat karena ternyata harapan yang terlalu tinggi itu tiba-tiba meluncur bebas dan meredup tanpa dapat kuhentikan? Ah, entahlah, yang kutahu aku hanya ingin cepat sampai kerumah segera. Bayangan segelas Segar Sari rasa lemon kesukaanku mulai melayang-layang di depan mataku. Ku tarik gas sepeda motor Mio merah kesayanganku yang pagi tadi sempat tersangkut di lumpur setinggi lutut. Kendaraan yang kemarin sudah dicuci mengkilat itu kini tak jelas lagi bentuknya tertutupi oleh lumpur yang mulai kering.
“Gimana Fan?” Tanya abangku ketika sudah sampai di rumah.
“Gimana apanya?” tanyaku sok lugu dengan nada sedikit malas sambil menghirup segar sari di tanganku.
“Gimana dengan cewek tadi? Cocok?” tanya abangku semakin penasaran.
“Nggak tahulah, bingung menjawabnya!” jawabku sekenanya.
Aku memang agak bad mood  sepulang dari desa Gading, tepatnya setelah melihat gadis yang rencananya akan di jodohkan denganku. Tentu saja bukan karena dia kurang cantik atau yang lainnya, karena aku saja hanya melihatnya tak lebih dari lima detik, itupun tanpa sengaja ketika aku hendak berwudhu’ untuk shalat dzuhur di masjid yang terletak di depan rumahnya, dan sepertinya lumayan cantik. Tapi ini masalah selera Bung! Memang pandangan pertama bukanlah jaminan akan keadaan selanjutnya, tapi bagiku pandangan pertama ini begitu penting mengingat jarak antara rumah ku dan rumahnya sangat jauh sehingga untuk melihat wajahnya sekali lagi saja butuh waktu dan kesempatan yang tidak mudah. Selain itu aku juga tidak begitu mengenal sosok dan kepribadiannya. Bagaimana aku tiba-tiba langsung mencintainya? Atau paling tidak menyukainya? Tapi masalahnya ternyata tidak sesederhana itu kawan! Ini bukan hanya persoalan like and dislike, tapi menyangkut harga diri seseorang. Apalagi orang tuaku sudah menyatakan 100% persetujuannya meskipun tetap menyerahkan keputusan akhirnya padaku.
“Kurang apa lagi?” kata ayahku suatu ketika.
“Dia baru pulang dari pesantren meskipun cuma lulus Aliyah, orang tuanya tokoh agama bahkan Ustadz kamu waktu di madrasah dulu, jadi bibit, bebet  dan bobot  nya tidak diragukan lagi, apalagi orang tuanya sendiri yang datang kesini mau menjodohkannya dengan kamu!” pendapat ayahku yakin.
Aku semakin terperosok dalam dilema. Seperti makan buah simalakama, jika kutolak, bagaimana perasaan orang tuanya yang notabene guruku yang sangat kuhormati, tapi jika kuterima, haruskah aku menjalani sesuatu untuk seumur hidupku tanpa rasa cinta atau lebih tepatnya karena terpaksa? Tidak! Aku tidak boleh gegabah untuk urusan yang satu ini. Akhirnya keluargaku pun tak bisa berbuat apa-apa kecuali menghargai perasaanku.

*  *  *
                Setelah peristiwa itu aku kembali menjalani hari-hariku seperti biasa. Waktuku kusibukkan dengan rutinitas yang sudah lebih setahun ini kujalani. Pagi-pagi buka toko Foto copy dan Rental computer yang baru kurintis beberapa bulan lalu. Setelah karyawanku datang kusempatkan pergi ke Taman Kanak-Kanak (TK) yang kudirikan bersama temanku. Meskipun aku hanya ketua Yayasan, tapi aku berusaha untuk selalu mengunjungi sekolah itu. Ada kebahagiaan tersendiri ketika aku datang lalu anak-anak itu berteriak memanggil namaku sambil berlari kearahku. Lalu ada yang memeluk kakiku, ada yang minta gendong, bahkan ada yang ngajak main ayunan.
Kulihat betapa cerianya anak-anak itu. Tanpa beban, tanpa pertimbangan bahkan terkadang tak berfikir resiko, yang ada hanya kesenangan dan keceriaan untuk saat ini, tak peduli esok atau lusa. Berbeda dengan orang dewasa yang hidupnya dipenuhi dengan perhitungan, sehingga melahirkan kekhawatiran bahkan ketakutan. Impian besar untuk kehidupan masa depan yang belum pasti dijalani, terkadang harus mengorbankan kebahagiaan masa kini. Aku jadi teringat tulisan Dr. ‘Aidh Al-Qarni dalam bukunya yang fenomenal La Tahzan, “Wahai masa depan, engkau masih dalam kegaiban. Maka aku tidak akan pernah bermain dengan khayalan dan menjual diri hanya untuk sebuah dugaan. Aku pun tak akan memburu sesuatu yang belum tentu ada, karena esok hari mungkin tak ada sesuatu. Esok hari adalah sesuatu yang belum diciptakan dan tidak ada satupun darinya yang bisa disebutkan”.
Ah, aku jadi rindu masa kanak-kanakku di kampung. Meskipun tak pernah mengenyam sekolah TK, tak ada ayunan, pelosotan, dan Alat Peraga Edukatif (APE), tapi aku bahagia bermain di sawah dan di hutan dengan mainan seadanya yang berasal dari alam.
“Kok melamun pak?” sapa seseorang tiba-tiba membuyarkan lamunanku saat menemani anak-anak bermain. Suara itu rupanya berasal dari orang tua yang menunggu anak-anak mereka belajar.
“Ayoo… mikirin siapa nih, kalo udah ada calon kenalkan dong sama kita,” sambung yang lain menggoda.
“Mmm… anu, eh… nggak, lagi lihat anak-anak bermain,” jawabku mengelak.
“Alaaah… ngaku aja, pasti lagi kangen ya, kapan gantung janur nih? jangan lupa undangannya ya..” desak yang lain.
Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Meskipun pertanyaan seperti itu tidak hanya sekali ini ditujukan kepadaku, bahkan berkali-kali dari teman-teman di kantor, tetangga bahkan dari pelanggan toko, tapi tetap saja hatiku berdebar setiap kali membayangkan siapa yang akan menjadi pendamping hidupku nanti. Beberapa kali menjalin hubungan serius dengan perempuan selalu gagal. Karena seringnya gagal, aku sampai berfikir mungkin jodohku bukan dari pencarianku sendiri tapi dari perjodohan orang lain. Tapi celakanya, beberapa kali dijodohkan justru tidak pernah cocok sejak pandangan pertama. Sebelum kegagalan perjodohan dengan anak guruku itu, aku juga pernah dikenalkan oleh temanku pada teman kuliahnya. Menurut temanku, meskipun masih kuliah, perempuan itu berprofesi sebagai guru PNS di sebuah Sekolah Dasar Negeri. Tidak sedikit laki-laki yang bermaksud menikahinya, bahkan sudah melamarnya secara langsung, tapi perempuan itu menolaknya dengan halus. Mendengar cerita temanku, rasa penasaran menjalar juga di benakku. “Tak ada salahnya mencoba,” pikirku. “Siapa tahu jodoh!” kata hatiku mantap.
Bisa ditebak apa yang terjadi kemudian. Tukaran nomor telepon. SMS-an dan akhirnya janji ketemuan. Sengaja kupilih tempat yang tidak jauh dari kampus tempatnya kuliah. Biar mudah terjangkau olehnya, apalagi dari nada SMS-nya, sepertinya dia masih ragu bertemu denganku. Tapi aku sengaja memaksa untuk bertemu, dengan alasan tak ada salahnya menambah teman, kalau cocok berarti lanjut, kalau tidak berarti berteman, beres kan! Meskipun begitu tetap saja hati deg degan, H2C so pasti! Singkat kata singkat cerita akhirnya kami bertemu. Tapi sekali lagi, dari pertemuan singkat dan hanya diselingi sedikit basa-basi itu, aku harus jujur bahwa aku tidak naksir padanya! Dan menurutku tak perlu alasan kenapa, karena kalaupun ada, tapi aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya.

*  *  *
Tak terasa bulan Puasa telah memasuki hari kesepuluh. Bulan yang diyakini umat muslim menyimpan banyak keberkahan dan ampunan bagi yang bertaubat. Bahkan menurut yang pernah saya dengar dari ustadz di masjid waktu kuliah subuh, merasa gembira saja karena datangnya bulan Ramadhan ini, maka orang itu akan dibebaskan dari api neraka! Luar biasa garansi yang Allah berikan kepada umat-Nya. Tapi tentu saja kembali kepada keikhlasan niat pelakunya. Karena motif kesenangan itu bermacam-macam. Seperti tetanggaku si Ujang. Dia sangat senang memasuki bulan puasa karena di bulan itu dia mudah mendapatkan menu makanan kesukaannya, kolak pisang! Ada juga yang senang karena di bulan puasa jam kantor berkurang. Bahkan ada yang senang karena dagangannya laku keras di bulan puasa, apalagi menjelang lebaran.
Aku sendiri memiliki sedikit beban yang selalu kupikirkan setiap bulan puasa tiba. Setiap kali memasuki bulan puasa aku merasa tidak ada yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu aku masih bujangan alias belum menikah!  Sejak tiga tahun terakhir ini aku selalu membayangkan menjalani puasa bersama seseorang yang mendampingi hari-hariku siang dan malam. Menyiapkan hidangan sahur sebelum subuh menjelang, dan buka bersama saat matahari terbenam. Tahun ini usiaku menapaki seperempat abad, usia yang beberapa tahun lalu aku targetkan sebagai batas akhir mengakhiri masa lajang. Tapi nyatanya, hingga menjalani puasa di usia ke 25 ini ternyata belum ada tanda-tanda yang mengarah ke harapanku itu. Padahal keinginan menyempurnakan separuh agama itu sudah begitu memuncak. Impian melaksanakan sunnah nabi itu selalu membayangi hari-hariku. Bukan sekedar memuaskan nafsu syahwat belaka, tapi ada kerinduan akan sebuah keluarga kecil bahagia tempat melabuhkan jiwa raga. Aku seringkali merasa, hidup membujang itu hampa, aku tidak merasakan I’m single and very happy.  Yaa Allah, dengan limpahan rahmatmu di bulan mulia ini, jika jodohku jauh, dekatkanlah, jika dekat, satukanlah kami dalam sunnah rasul-Mu…
Di suatu sore yang cerah, sambil ngabuburit  di depan tokoku, aku teringat kalau beberapa waktu lalu, Edo, tetangga di samping toko ku pernah menawarkan aku untuk dikenalkan dengan saudara sepupunya yang baru lulus kuliah dan sekarang menjadi dosen honor di salah satu PTS di kotaku, namanya Ismi. Kupikir tidak ada salahnya kalau aku menagih janji itu, bukankah menjalin silaturrahmi itu adalah perintah agama. Akhirnya tanpa menunggu lama tetanggaku pun setuju. Namun, aku tak ingin mengulangi pengalaman gagal sebelumnya. Sebelum membuat janji pertemuan aku tanya segala hal tentang Ismi, dan tak ketinggalan kuminta juga fotonya. Alhasil, keesokan harinya aku sudah bisa melihat foto Ismi meski hanya melalui HP Edo. Dan, sekali lagi aku harus jujur meski tentu saja tidak kusampaikan pada Edo, bahwa aku lagi-lagi “tidak tertarik” pada sepupunya itu. Tapi apa mau di kata, rupanya saat Edo mengambil foto itu, dia sudah kadung membuat janji untuk mempertemukan Ismi denganku dua hari kemudian sambil menikmati buka puasa di salah satu restoran cepat saji terkenal di kotaku. Tentu tak elok kalau aku harus membatalkan rencana yang sudah disepakati hanya karena satu alasan yang tergesa-gesa; tak tertarik!
Waktu yang disepakati sudah tiba. Meskipun setengah hati, aku akan bertemu dengannya sore ini. Saat berangkat, aku berboncengan dengan Edo, sementara istrinya menjemput Ismi di rumahnya. Jadi, aku lebih dulu tiba di restoran tersebut.
“Hmm… gimana nih rasanya menunggu sang calon?” goda Edo, ketika kami sudah duduk di salah satu meja di samping dinding kaca di restoran tersebut. Aku sengaja duduk membelakangi jalan masuk restoran dengan alasan tidak ingin langsung melihat gadis itu datang.
“Biasa aja,” jawabku sekenanya. Memang aku tidak begitu berminat melakukan pertemuan kali ini. Mungkin inilah perbedaan pertemuan kali ini dengan pertemuan-pertemuan perjodohan sebelumnya. Jika pertemuan sebelumnya aku datang dengan semangat ’45, sebagaimana Sri Rama merebut Dewi Shinta dari tawanan Rahwana dalam kisah Ramayana. Atau seperti  kisah Ario Panangsang mengejar Dewi Sekartaji dalam babad tanah Jawi. Tapi kali ini, aku tak ubahnya seorang anak kecil yang disuruh ibunya membeli bawang ke toko tapi tak ada uang transportnya. Dingin.
“Assalamualaikum”, sapa seseorang tiba-tiba dari arah belakang membuyarkan aku dari lamunan.
“Waalaikum salam”, jawabku refleks karena kaget sambil menoleh ke arah asal suara. “Subhanallah”, gumamku pelan. “Apa benar ini perempuan yang dimaksud Edo?”, tanyaku dalam hati. Meski hanya sebentar aku menatapnya dari arah samping, tapi kali ini aku juga tak bisa berbohong, bahwa hatiku seketika berdesir tak karuan. Bunga-bunga di hatiku yang sempat layu mulai bermekaran. Harapan yang sebelumnya redup kembali berpendar. Impian yang selama ini mengambang, mulai menampakkan jawaban.
Apabila cinta memanggilmu, ikutilah, meski jalannya terjal berliku.
Dan apabila sayapnya merangkulmu, pasrahlah, meski pedang tersembunyi di sela sayap itu mungkin melukaimu.
Dan jika dia bicara kepadamu, percayalah, meski ucapannya membuyarkan mimpimu, bagai angin utara menghancurkan taman.
Sebab, sebagaimana cinta memahkotaimu, begitu pula ia menyalibmu.
……………………..
Cinta tak memberikan apapun kecuali dirinya sendiri dan tak mengambil apapun kecuali dari dirinya sendiri, dan tak memiliki ataupun dimiliki, karena cinta telah cukup untuk cinta… 
(Kahlil Gibran dalam  Sang Nabi)

 Siantan Hilir, Mei 2009
(Based on the true story/By: Mohammad Amin/Dimuat di Harian Pontianak Post edisi 24 Mei 2009)

Jumat, 24 Juni 2011

TAUHID SEBAGAI SOLUSI


Oleh : Mohammad Amin*

Obsesi peradaban mutakhir dimanifestasikan dalam kemajuan teknologi di segala lini kehidupan yang muara akhirnya adalah mengejar keuntungan ekonomis sebesar-besarnya. Hal ini ditandai dengan suburnya budaya materialisme, konsumerisme dan hedonisme di dalam mental masyarakat.
Anehnya, sebagian masyarakat di belahan Negara yang dianggap paling modern saat ini justru muncul sebuah sikap tidak puas terhadap materi yang mereka miliki, kesadaran ini menggiring mereka pada suatu realitas diri yang terasing atau teralienasi (alienation) dalam gerakan mekanis aktifitas mereka. Dalam kungkungan keterasingan ini mereka tidak lagi menemukan dirinya karena mereka telah menjadi tawanan kerja. Karena itu, dalam suasana masyarakat industrial, liburan weekend (akhir pekan) menjadi sangat bermakna, sebab hanya pada saat itulah seseorang bebas mengekspresikan diri sepenuhnya karena tidak harus bekerja, maka kemudian terkenal sebuah ungkapan yang berbunyi ‘we life for the weekend’ (kita hidup untuk akhir pekan).
Meskipun perangkat teori alienasi sesungguhnya dipinjam dari teori marxisme, tapi problem alienasi yang dikembangkan dalam Islam sangat berbeda secara substantif, karena dalam Islam –sebagaimana pendapat Budi Munawar Rahman- masalah alienasi ini menyangkut masalah makna hidup, yaitu hubungan manusia dengan Sang Khalik, dan karena itu juga menjadi persoalan tauhid, yaitu ketika manusia jatuh dalam sikap syirik atau dikuasai oleh benda-benda atau sesuatu selain Allah SWT, maka dalam keadaan seperti itulah manusia tersebut sebetulnya telah mengalami alienasi.
Di zaman dahulu, orang mengalami alienasi atau syirik tersebut dalam kondisi masyarakat yang dilanda kebodohan sehingga dikenal dengan zaman jahiliyah, tetapi di era modern ini, orang bersikap syirik bukan karena bodoh, tapi lebih karena tidak sadar, atau lebih tepatnya tidak memiliki kesadaran ke-Tuhan-an (rabbaniyah). Menurut Nurcholis Madjid, kesadaran ketuhanan ini menghendaki penghayatan kepada wujud Ilahi sebagai Yang Serba Dekat atau Maha Hadir (omni present). Dari kesadaran inilah berpangkal, bersumber dan memancar seluruh sikap hidup yang benar, dan dengan kesadaran  ini pula manusia dibimbing kearah kebajikan yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sementara itu, salah satu ciri masyarakat modern yang paling menonjol menurut Komaruddin Hidayat, adalah sikapnya yang sangat agresif terhadap kemajuan (progress). Di dorong oleh berbagai prestasi yang dicapai oleh Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang berporos pada rasionalitas, masyarakat modern berusaha mematahkan mitos kesakralan alam raya.
Realitas alam raya yang oleh doktrin-doktrin agama selalu dikaitkan dengan selubung metafisika dan kebesaran Sang Pencipta, kini dipahami semata-mata sebagai benda otonom yang tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Alam rayapun laksana jam raksasa yang bekerja mengikuti gerak mesin yang telah diciptakan dan diatur sedemikian rupa oleh ‘tukang jam’ yang Maha Super (Tuhan), untuk selanjutnya Tuhan pensiun dan tak ada lagi urusan dengan kehidupan ini. Dengan berbagai prestasi IPTEK itu pula, manusia modern pun semakin merasa yakin untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Tuhan.
Kritik kepada ilmu pengetahuan dan teknologi modern dari sudut pandang Islam ialah karena IPTEK modern tersebut hanya absah secara metodologis tetapi miskin dari segi moral dan etika. Pandangan masyarakat modern yang bertumpu pada supremasi akal serta obsesi yang tinggi terhadap penguasaan ekonomi telah memarginalkan dimensi ‘Rabbaniyah’.
Karena itu, sumbangan terbesar Islam adalah adanya konsep tauhid, yang tidak saja mempersepsikan Tuhan sebagai realitas yang transenden, tapi juga imanen dalam diri manusia. ‘Tuhan lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya’ (QS.50:16). Dalam ayat lain “Dan bila para hamba-Ku bertanya kepada engkau (Muhammad) tentang aku, maka (jawablah) bahwa aku adalah Maha Dekat” (QS.2:186). Tauhid juga menegaskan bahwa Tuhan adalah asal usul dan juga tujuan akhir hidup manusia –termasuk peradaban dan ilmu pengetahuannya.
Dalam bahasa Komaruddin Hidayat, bila ridha Tuhan tidak lagi menjadi pusat orientasi manusia, kualitas kehidupan lalu menjadi rendah. Sebaliknya, dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhirnya, manusia akan terbebaskan dari derita kehampaan spiritual, karena Tuhan adalah Pesona Yang Maha Hadir dan Maha Mutlak. Eksistensi yang relative akan lenyap ke dalam eksistensi yang absolut.
 Kiranya, kisah syahdu Nabi Ibrahim dan anaknya Nabi Ismail (QS.37: 102) dalam menempatkan Tuhan sebagai satu-satunya sumber dan tujuan penghambaan sehingga melahirkan ketaatan murni yang tidak dapat digoyahkan oleh kepentingan apapun dapat menjadi teladan dan bahan renungan kita dalam menghadapi Idul Qurban 1431 H ini.
Last but not least, marilah kita simak sebuah petikan puisi Muhammad Iqbal yang berjudul Doa: “Bakarlah dengan api kami segala yang bukan Tuhan/ Apabila umat mencampakkan kunci tauhid/ mereka pecah berantakan/ … / ajarkan kami lagi makna Laa Ilaaha/ bisikkan ke telinga kami Illallaah…! 

*Guru MTsN Singkawang