Terik matahari siang itu terasa membakar kulitku. Udara kering ditambah hawa yang begitu gerah membuat kepala menjadi agak pusing. Meski sudah sekitar satu jam perjalanan dari desa Gading kutempuh bersama abangku, tapi masih butuh separuh waktu lagi untuk sampai dirumahku. Perjalanan pulang ini terasa begitu lama, padahal tadi pagi ketika berangkat terasa ringan dan cepat. Apa karena keberangkatanku didukung oleh energi senang, harapan sekaligus penasaran yang sebulan belakangan ini menghantui hari-hariku? Sementara pulangnya terasa begitu berat karena ternyata harapan yang terlalu tinggi itu tiba-tiba meluncur bebas dan meredup tanpa dapat kuhentikan? Ah, entahlah, yang kutahu aku hanya ingin cepat sampai kerumah segera. Bayangan segelas Segar Sari rasa lemon kesukaanku mulai melayang-layang di depan mataku. Ku tarik gas sepeda motor Mio merah kesayanganku yang pagi tadi sempat tersangkut di lumpur setinggi lutut. Kendaraan yang kemarin sudah dicuci mengkilat itu kini tak jelas lagi bentuknya tertutupi oleh lumpur yang mulai kering.
“Gimana Fan?” Tanya abangku ketika sudah sampai di rumah.
“Gimana apanya?” tanyaku sok lugu dengan nada sedikit malas sambil menghirup segar sari di tanganku.
“Gimana dengan cewek tadi? Cocok?” tanya abangku semakin penasaran.
“Nggak tahulah, bingung menjawabnya!” jawabku sekenanya.
Aku memang agak bad mood sepulang dari desa Gading, tepatnya setelah melihat gadis yang rencananya akan di jodohkan denganku. Tentu saja bukan karena dia kurang cantik atau yang lainnya, karena aku saja hanya melihatnya tak lebih dari lima detik, itupun tanpa sengaja ketika aku hendak berwudhu’ untuk shalat dzuhur di masjid yang terletak di depan rumahnya, dan sepertinya lumayan cantik. Tapi ini masalah selera Bung! Memang pandangan pertama bukanlah jaminan akan keadaan selanjutnya, tapi bagiku pandangan pertama ini begitu penting mengingat jarak antara rumah ku dan rumahnya sangat jauh sehingga untuk melihat wajahnya sekali lagi saja butuh waktu dan kesempatan yang tidak mudah. Selain itu aku juga tidak begitu mengenal sosok dan kepribadiannya. Bagaimana aku tiba-tiba langsung mencintainya? Atau paling tidak menyukainya? Tapi masalahnya ternyata tidak sesederhana itu kawan! Ini bukan hanya persoalan like and dislike, tapi menyangkut harga diri seseorang. Apalagi orang tuaku sudah menyatakan 100% persetujuannya meskipun tetap menyerahkan keputusan akhirnya padaku.
“Kurang apa lagi?” kata ayahku suatu ketika.
“Dia baru pulang dari pesantren meskipun cuma lulus Aliyah, orang tuanya tokoh agama bahkan Ustadz kamu waktu di madrasah dulu, jadi bibit, bebet dan bobot nya tidak diragukan lagi, apalagi orang tuanya sendiri yang datang kesini mau menjodohkannya dengan kamu!” pendapat ayahku yakin.
Aku semakin terperosok dalam dilema. Seperti makan buah simalakama, jika kutolak, bagaimana perasaan orang tuanya yang notabene guruku yang sangat kuhormati, tapi jika kuterima, haruskah aku menjalani sesuatu untuk seumur hidupku tanpa rasa cinta atau lebih tepatnya karena terpaksa? Tidak! Aku tidak boleh gegabah untuk urusan yang satu ini. Akhirnya keluargaku pun tak bisa berbuat apa-apa kecuali menghargai perasaanku.
* * *
Setelah peristiwa itu aku kembali menjalani hari-hariku seperti biasa. Waktuku kusibukkan dengan rutinitas yang sudah lebih setahun ini kujalani. Pagi-pagi buka toko Foto copy dan Rental computer yang baru kurintis beberapa bulan lalu. Setelah karyawanku datang kusempatkan pergi ke Taman Kanak-Kanak (TK) yang kudirikan bersama temanku. Meskipun aku hanya ketua Yayasan, tapi aku berusaha untuk selalu mengunjungi sekolah itu. Ada kebahagiaan tersendiri ketika aku datang lalu anak-anak itu berteriak memanggil namaku sambil berlari kearahku. Lalu ada yang memeluk kakiku, ada yang minta gendong, bahkan ada yang ngajak main ayunan.
Kulihat betapa cerianya anak-anak itu. Tanpa beban, tanpa pertimbangan bahkan terkadang tak berfikir resiko, yang ada hanya kesenangan dan keceriaan untuk saat ini, tak peduli esok atau lusa. Berbeda dengan orang dewasa yang hidupnya dipenuhi dengan perhitungan, sehingga melahirkan kekhawatiran bahkan ketakutan. Impian besar untuk kehidupan masa depan yang belum pasti dijalani, terkadang harus mengorbankan kebahagiaan masa kini. Aku jadi teringat tulisan Dr. ‘Aidh Al-Qarni dalam bukunya yang fenomenal La Tahzan, “Wahai masa depan, engkau masih dalam kegaiban. Maka aku tidak akan pernah bermain dengan khayalan dan menjual diri hanya untuk sebuah dugaan. Aku pun tak akan memburu sesuatu yang belum tentu ada, karena esok hari mungkin tak ada sesuatu. Esok hari adalah sesuatu yang belum diciptakan dan tidak ada satupun darinya yang bisa disebutkan”.
Ah, aku jadi rindu masa kanak-kanakku di kampung. Meskipun tak pernah mengenyam sekolah TK, tak ada ayunan, pelosotan, dan Alat Peraga Edukatif (APE), tapi aku bahagia bermain di sawah dan di hutan dengan mainan seadanya yang berasal dari alam.
“Kok melamun pak?” sapa seseorang tiba-tiba membuyarkan lamunanku saat menemani anak-anak bermain. Suara itu rupanya berasal dari orang tua yang menunggu anak-anak mereka belajar.
“Ayoo… mikirin siapa nih, kalo udah ada calon kenalkan dong sama kita,” sambung yang lain menggoda.
“Mmm… anu, eh… nggak, lagi lihat anak-anak bermain,” jawabku mengelak.
“Alaaah… ngaku aja, pasti lagi kangen ya, kapan gantung janur nih? jangan lupa undangannya ya..” desak yang lain.
Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Meskipun pertanyaan seperti itu tidak hanya sekali ini ditujukan kepadaku, bahkan berkali-kali dari teman-teman di kantor, tetangga bahkan dari pelanggan toko, tapi tetap saja hatiku berdebar setiap kali membayangkan siapa yang akan menjadi pendamping hidupku nanti. Beberapa kali menjalin hubungan serius dengan perempuan selalu gagal. Karena seringnya gagal, aku sampai berfikir mungkin jodohku bukan dari pencarianku sendiri tapi dari perjodohan orang lain. Tapi celakanya, beberapa kali dijodohkan justru tidak pernah cocok sejak pandangan pertama. Sebelum kegagalan perjodohan dengan anak guruku itu, aku juga pernah dikenalkan oleh temanku pada teman kuliahnya. Menurut temanku, meskipun masih kuliah, perempuan itu berprofesi sebagai guru PNS di sebuah Sekolah Dasar Negeri. Tidak sedikit laki-laki yang bermaksud menikahinya, bahkan sudah melamarnya secara langsung, tapi perempuan itu menolaknya dengan halus. Mendengar cerita temanku, rasa penasaran menjalar juga di benakku. “Tak ada salahnya mencoba,” pikirku. “Siapa tahu jodoh!” kata hatiku mantap.
Bisa ditebak apa yang terjadi kemudian. Tukaran nomor telepon. SMS-an dan akhirnya janji ketemuan. Sengaja kupilih tempat yang tidak jauh dari kampus tempatnya kuliah. Biar mudah terjangkau olehnya, apalagi dari nada SMS-nya, sepertinya dia masih ragu bertemu denganku. Tapi aku sengaja memaksa untuk bertemu, dengan alasan tak ada salahnya menambah teman, kalau cocok berarti lanjut, kalau tidak berarti berteman, beres kan! Meskipun begitu tetap saja hati deg degan, H2C so pasti! Singkat kata singkat cerita akhirnya kami bertemu. Tapi sekali lagi, dari pertemuan singkat dan hanya diselingi sedikit basa-basi itu, aku harus jujur bahwa aku tidak naksir padanya! Dan menurutku tak perlu alasan kenapa, karena kalaupun ada, tapi aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya.
* * *
Tak terasa bulan Puasa telah memasuki hari kesepuluh. Bulan yang diyakini umat muslim menyimpan banyak keberkahan dan ampunan bagi yang bertaubat. Bahkan menurut yang pernah saya dengar dari ustadz di masjid waktu kuliah subuh, merasa gembira saja karena datangnya bulan Ramadhan ini, maka orang itu akan dibebaskan dari api neraka! Luar biasa garansi yang Allah berikan kepada umat-Nya. Tapi tentu saja kembali kepada keikhlasan niat pelakunya. Karena motif kesenangan itu bermacam-macam. Seperti tetanggaku si Ujang. Dia sangat senang memasuki bulan puasa karena di bulan itu dia mudah mendapatkan menu makanan kesukaannya, kolak pisang! Ada juga yang senang karena di bulan puasa jam kantor berkurang. Bahkan ada yang senang karena dagangannya laku keras di bulan puasa, apalagi menjelang lebaran.
Aku sendiri memiliki sedikit beban yang selalu kupikirkan setiap bulan puasa tiba. Setiap kali memasuki bulan puasa aku merasa tidak ada yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu aku masih bujangan alias belum menikah! Sejak tiga tahun terakhir ini aku selalu membayangkan menjalani puasa bersama seseorang yang mendampingi hari-hariku siang dan malam. Menyiapkan hidangan sahur sebelum subuh menjelang, dan buka bersama saat matahari terbenam. Tahun ini usiaku menapaki seperempat abad, usia yang beberapa tahun lalu aku targetkan sebagai batas akhir mengakhiri masa lajang. Tapi nyatanya, hingga menjalani puasa di usia ke 25 ini ternyata belum ada tanda-tanda yang mengarah ke harapanku itu. Padahal keinginan menyempurnakan separuh agama itu sudah begitu memuncak. Impian melaksanakan sunnah nabi itu selalu membayangi hari-hariku. Bukan sekedar memuaskan nafsu syahwat belaka, tapi ada kerinduan akan sebuah keluarga kecil bahagia tempat melabuhkan jiwa raga. Aku seringkali merasa, hidup membujang itu hampa, aku tidak merasakan I’m single and very happy. Yaa Allah, dengan limpahan rahmatmu di bulan mulia ini, jika jodohku jauh, dekatkanlah, jika dekat, satukanlah kami dalam sunnah rasul-Mu…
Di suatu sore yang cerah, sambil ngabuburit di depan tokoku, aku teringat kalau beberapa waktu lalu, Edo, tetangga di samping toko ku pernah menawarkan aku untuk dikenalkan dengan saudara sepupunya yang baru lulus kuliah dan sekarang menjadi dosen honor di salah satu PTS di kotaku, namanya Ismi. Kupikir tidak ada salahnya kalau aku menagih janji itu, bukankah menjalin silaturrahmi itu adalah perintah agama. Akhirnya tanpa menunggu lama tetanggaku pun setuju. Namun, aku tak ingin mengulangi pengalaman gagal sebelumnya. Sebelum membuat janji pertemuan aku tanya segala hal tentang Ismi, dan tak ketinggalan kuminta juga fotonya. Alhasil, keesokan harinya aku sudah bisa melihat foto Ismi meski hanya melalui HP Edo. Dan, sekali lagi aku harus jujur meski tentu saja tidak kusampaikan pada Edo, bahwa aku lagi-lagi “tidak tertarik” pada sepupunya itu. Tapi apa mau di kata, rupanya saat Edo mengambil foto itu, dia sudah kadung membuat janji untuk mempertemukan Ismi denganku dua hari kemudian sambil menikmati buka puasa di salah satu restoran cepat saji terkenal di kotaku. Tentu tak elok kalau aku harus membatalkan rencana yang sudah disepakati hanya karena satu alasan yang tergesa-gesa; tak tertarik!
Waktu yang disepakati sudah tiba. Meskipun setengah hati, aku akan bertemu dengannya sore ini. Saat berangkat, aku berboncengan dengan Edo, sementara istrinya menjemput Ismi di rumahnya. Jadi, aku lebih dulu tiba di restoran tersebut.
“Hmm… gimana nih rasanya menunggu sang calon?” goda Edo, ketika kami sudah duduk di salah satu meja di samping dinding kaca di restoran tersebut. Aku sengaja duduk membelakangi jalan masuk restoran dengan alasan tidak ingin langsung melihat gadis itu datang.
“Biasa aja,” jawabku sekenanya. Memang aku tidak begitu berminat melakukan pertemuan kali ini. Mungkin inilah perbedaan pertemuan kali ini dengan pertemuan-pertemuan perjodohan sebelumnya. Jika pertemuan sebelumnya aku datang dengan semangat ’45, sebagaimana Sri Rama merebut Dewi Shinta dari tawanan Rahwana dalam kisah Ramayana. Atau seperti kisah Ario Panangsang mengejar Dewi Sekartaji dalam babad tanah Jawi. Tapi kali ini, aku tak ubahnya seorang anak kecil yang disuruh ibunya membeli bawang ke toko tapi tak ada uang transportnya. Dingin.
“Assalamualaikum”, sapa seseorang tiba-tiba dari arah belakang membuyarkan aku dari lamunan.
“Waalaikum salam”, jawabku refleks karena kaget sambil menoleh ke arah asal suara. “Subhanallah”, gumamku pelan. “Apa benar ini perempuan yang dimaksud Edo?”, tanyaku dalam hati. Meski hanya sebentar aku menatapnya dari arah samping, tapi kali ini aku juga tak bisa berbohong, bahwa hatiku seketika berdesir tak karuan. Bunga-bunga di hatiku yang sempat layu mulai bermekaran. Harapan yang sebelumnya redup kembali berpendar. Impian yang selama ini mengambang, mulai menampakkan jawaban.
Apabila cinta memanggilmu, ikutilah, meski jalannya terjal berliku.
Dan apabila sayapnya merangkulmu, pasrahlah, meski pedang tersembunyi di sela sayap itu mungkin melukaimu.
Dan jika dia bicara kepadamu, percayalah, meski ucapannya membuyarkan mimpimu, bagai angin utara menghancurkan taman.
Sebab, sebagaimana cinta memahkotaimu, begitu pula ia menyalibmu.
……………………..
Cinta tak memberikan apapun kecuali dirinya sendiri dan tak mengambil apapun kecuali dari dirinya sendiri, dan tak memiliki ataupun dimiliki, karena cinta telah cukup untuk cinta…
(Kahlil Gibran dalam Sang Nabi)
Siantan Hilir, Mei 2009
(Based on the true story/By: Mohammad Amin/Dimuat di Harian Pontianak Post edisi 24 Mei 2009)