Halaman itu terlihat semakin sempit dengan berdirinya
pot-pot semen ‘raksasa’ untuk ukuran pohon bunga di dalamnya yang masih kecil.
Disekitarnya berdiri bangunan-bangunan tua yang konon telah melahirkan
generasi-generasi intelektual atau alumni yang tersebar diberbagai daerah tidak
hanya di Pulau Garam ini tapi juga hingga ke seberang pulau, termasuk guruku
sendiri yang saat ini mengelola pesantren tempatku menimba ilmu sebelumnya di Kalimantan
Barat. Yah, dari beliaulah aku tahu adanya kampus ini, dan mungkin itulah salah
satu alasan mengapa aku berada disini saat ini. Padahal melihat dari daerah
asalku nun di pulau Kalimantan, terdengar sedikit aneh aku bisa memilih
sebuah kampus ‘kecil’ yang berada hampir di tengah pulau yang terkenal beraroma
keras ini. Bahkan pernah suatu ketika saat aku hendak membuat buku rekening
tabungan di salah satu bank, petugas bank tersebut mengernyitkan dahi saat
kutunjukkan kartu pelajarku.
“Kenapa mbak? Ada yang aneh?” tanyaku penasaran.
“Nggak, Cuma heran aja, kok bisa dari Kalimantan kuliah
disini!” jawab teller bank yang kemudian kuketahui bernama Yanti
dari papan yang ada dimejanya.
“Padahal sebelum sampai sini
kan lewat Surabaya dulu, disana banyak perguruan tinggi yang lebih besar, atau
di Malang yang terkenal sebagai kota pelajar”, lanjutnya.
Aku pun hanya bisa tersenyum
kecut mendengarnya. Bukan karena tidak mengerti alasanku kuliah disini, justru
karena aku tahu persis alasan-alasan itu yang menurutku memang ‘aneh’ dan
biarlah aku saja yang mengetahuinya. Apalagi ketika mendengar nama kota
terakhir yang disebut teller bank tadi, Malang.
Ya, kota pelajar yang terkenal
bersuhu dingin itu. Ketika baru memasuki semester kedua di kampus ini, aku sempat
berniat pindah kuliah ke kota apel itu. Hal itu terjadi sepulangnya aku mengunjungi
temanku yang sedang kuliah di sana. Jujur aku terpesona dengan suasana di
kandang Singo Edan itu. Bukan saja keindahan alam dan kesejukan hawanya, tapi
juga hiruk pikuk mahasiswanya yang begitu mewarnai wajah kota. Sehingga ketika
berada didalamnya, aku betul-betul merasakan nuansa ilmu pengetahuan di samping
aroma ‘pergaulan khas’ muda-mudi sebagaimana lazimnya disetiap daerah yang dikenal
sebagai kota pelajar.
Di saat yang sama, dimasa-masa
awal aku menjalani perkuliahan di kampus yang oleh kawan-kawan seringkali dijuluki ‘kampus mewah’ ini (bukan
mewah dalam arti sesungguhnya, tapi akronim dari ‘mepet sawah’ karena posisinya
yang memang bersebelahan dengan ladang tembakau), marak sekali aksi-aksi
demonstrasi yang (katanya) dipelopori oleh teman-teman seangkatanku (angk. ’99)
dimana penyebab awalnya berkaitan dengan ketidakpastian izin penyelenggaraan
salah satu jurusan yang memang baru dimulai. Bukan hanya unjuk rasa biasa, kami
bahkan sempat menyegel semua pintu kelas sehingga perkuliahan ditutup selama
dua minggu, dan puncaknya adalah ketika kami membakar petasan di ruang Pembantu
Ketua I sebagai aksi intimidasi agar tuntutan kami disetujui. Meskipun
aksi-aksi tersebut kemudian dianggap berhasil, namun tak bisa dipungkiri, selama
semester pertama dan kedua itu, efektifitas perkuliahan menjadi sangat
terganggu.
Itulah beberapa alasan yang
membuatku pernah ingin ‘hengkang’ dari kampus ini. Namun saat ini, memasuki
saat-saat akhir aku belajar disini, tepatnya semester VII, dimana aku sudah
hampir menyelesaikan tugas skripsiku, perasaan itu telah benar-benar berubah.
Aku sangat menikmati dan bahkan bersyukur telah memilih bertahan kuliah disini.
Biarpun lokasi kampusnya kecil, tapi aku mulai sadar, karena itulah
silaturrahim diantara kami mudah tersebar. Hampir semua mahasiswa saling
mengenal, meskipun hanya saling mengingat wajahnya. Walaupun jumlah
mahasiswanya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan kampus besar, justru
dengan begitu persaingan terasa longgar. Terutama dalam mengikuti aktifitas
yang dilaksanakan oleh organisasi intern kampus. Bahkan pada saat yang sama,
terkadang aku bisa aktif dalam beberapa organisasi dan mengisi dua sampai tiga
jabatan ‘strategis’ sekaligus. Dari organisasi pula, aku kemudian mengenal sahabat-sahabat
yang luar biasa, seperti syamsi, atoup, udin, mail, bonks, yudi, ucen, asbul,
sinal, doil, kus, aan, sakin, ning, lilik dan lain-lain yang tak mungkin
kusebutkan semua. Last but not least, yang paling utama dari semua
alasanku bertahan adalah bahwa disinilah aku mengenal seorang mahasiswi classmate-ku yang kemudian menjadi
kekasihku hingga detik ini.
Dan saat ini, aku
duduk gelisah didepan ruang Kantor Jurusan Syari’ah, dimana didalamnya
kekasihku itu sedang berjuang mempertahankan hasil penelitiannya dalam sidang
ujian skripsi. Aku gelisah bukan saja khawatir ia akan kesulitan dalam
mempertanggung jawabkan tugasnya, tapi lebih dari itu aku mengkhawatirkan
kemarahannya atau lebih tepatnya kecemburuannya padaku akibat kejadian dua jam
yang lalu akan membuat emosinya labil, konsentrasinya buyar, dan akhirnya hasil
ujian pamungkasnya sebagai mahasiswa menjadi berantakan. Dalam gelisahnya
penantian, peristiwa dua jam lalu itu pun kembali terulang dalam memori
ingatanku.
* * *
Sudah beberapa bulan terakhir ini aku menempati ruangan
3x5 meter berdinding putih ini. Ruangan yang dahulunya merupakan bagian dari
ruangan perpustakaan kampus ini telah disulap menjadi studio Radio Nuansa FM.
Radio mahasiswa pertama milik STAIN Pamekasan yang mengudara di gelombang 92,05
fm ini merupakan hasil ‘perjuangan’ kami (doil dan aku yang saat itu menjadi
pengurus di DEPKOMINFO eh, DEPKOMFOS BEM 2002-2003) bersama teman-teman BEM
lain yang sebelumnya sempat ditolak oleh pihak senat kampus. Setelah melalui
beberapa kali lobi dan sedikit ‘tekanan’ akhirnya turunlah anggaran pengadaan
radio yang aku tanda tangani sendiri kwitansinya. Walaupun setelah itu satu sen
pun aku sendiri tidak pernah tau rincian pengeluarannya karena sudah dikelola
oleh pimpinan BEM langsung. Singkatnya, akupun dipercayai untuk bertanggung
jawab atas operasional radio ini. Setiap pagi pukul 04.30 WIB aku sudah harus
menghidupkan mesin pemancar, dan mematikannya setiap malam sehabis siaran. Selain
menjadi salah satu penyiar di salah satu segmen, aku juga yang bertugas
mengganti lagu sesuai segmen jika petugas siar berhalangan atau terlambat
datang. Dengan tugas-tugas tersebut, agar lebih efektif dan efisien (maksudnya
menghemat dana anggaran ngontrak kos-kosan) maka akupun sekalian tinggal di
ruangan yang cukup beresiko radiasi ini.
Pagi itu, aku sedang membereskan beberapa buku yang akan
digunakan pacarku, sebut saja Ayu, untuk sidang ujian skripsinya nanti siang.
Tiba-tiba datang beberapa mahasiswa adik kelas yang berkunjung. Mereka adalah
Baihaqi –aktifis angkatan 2001, bersama teman-temannya.
“Ada apa nih? Kok tumben datangnya rombongan?”
tanyaku setelah sebelumnya berbasa-basi.
“Begini, kami mau minta pendapat menyikapi peristiwa
seputar perpolitikan di kampus kita akhir-akhir ini,” jawab Baihaqi yang
menjadi ‘juru bicara’ teman-temannya saat itu.
Memang, beberapa hari sebelumnya terjadi satu peristiwa
yang mungkin baru pertama kali dalam sejarah organisasi mahasiswa di kampus
ini. Musyawarah tertinggi mahasiswa yang melibatkan perwakilan dari seluruh
elemen organisasi kemahasiswaan baik eksekutif (BEM, UKM dan HMJ) maupun
legislatif (DPM) itu tiba-tiba buyar karena masuknya sekelompok mahasiswa yang
tidak jelas mewakili elemen yang mana. Akibatnya sidang pun deadlock
bahkan bubar. Pasca peristiwa tersebut, kemudian muncul berbagai sinyalemen dan
asumsi dikalangan mahasiswa khususnya aktifis kampus akan motif pembubaran
tersebut. Salah satunya adalah adanya dugaan dan isu bahwa pembubaran tersebut
memang direkayasa oleh ketua BEM sendiri agar bisa berkuasa lagi diperiode
berikutnya. Padahal ditengarai pada masa kepemimpinannya, lembaga intern
mahasiswa yang seharusnya netral dari politik praktis di luar kampus tersebut
telah disalah gunakan untuk mendukung salah satu calon pemerintah daerah yang
sedang bertarung saat itu. Hal ini tentu menciptakan suasana yang semakin ‘panas’
di kalangan adik kelas yang lazimnya mendapat ‘giliran’ untuk memimpin lembaga
eksekutif tertinggi di tingkat kemahasiswaan tersebut. Meskipun aku adalah
bagian dari kepengurusan BEM saat itu, namun sebagian adik kelas ada yang
menganggapku masih di posisi yang netral dari abuse of power itu,
sehingga sesekali ada mahasiswa yang meminta pendapatku dalam menyikapi kemelut
tersebut.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Baihaqi, tiba-tiba
masuk seorang mahasiswi yang dikenal paling vokal di angkatannya. Sebut saja
namanya Gadis. Mahasiswi manis dan mungil tapi lincah dan energik yang merupakan
adik kelas satu tingkat dariku. Akhir-akhir ini kami memang cukup sering
bertemu dan berkomunikasi. Selain berdiskusi tentang organisasi, kami sering
ngobrol seputar radio dimana dia juga salah satu penyiarnya. Karena itu pula,
tak bisa dihindari jika kemudian ada selentingan kabar yang mengatakan adanya
hubungan spesial di antara kami berdua.
Obrolan yang berlangsung di lorong yang menghubungkan
studio radio dengan kantor BEM itu pun menjadi semakin seru dengan bergabungnya
Gadis. Apalagi dengan gayanya yang ceplas ceplos dan humoris tak jarang suara
tawa kami pun tak terhindarkan. Setelah hampir satu jam kami berdiskusi,
Baihaqi yang juga berasal dari satu daerah denganku bersama teman-temannya pun
pamit. Tinggallah aku dan Gadis melanjutkan obrolan. Berbagai topik silih
berganti kami bahas, hingga tiba-tiba muncullah seorang wanita yang sangat
kukenal, sosok yang sudah setahun lebih menjadi kekasihku. Dengan wajah
terlihat marah, tanpa babibu ia langsung menerobos masuk melintasi kami berdua
ke dalam ruang radio lalu mengemasi buku-buku untuk sidang ujian skripsinya.
Memang, sesuai jadwal, siang ini dia akan mengikuti sidang di ruang Jurusan
Syari’ah.
Melihat gelagat yang kurang enak, aku langsung minta maaf
kepada Gadis untuk meninggalkannya dan segera menyusul kekasihku itu. Aku sadar
dan tidak bisa menyalahkan jika dia marah melihatku duduk berdua saja dengan
seorang wanita di ruangan yang relatif tertutup. Apalagi wanita itu adalah
orang yang diisukan memiliki ‘kedekatan’ khusus denganku. Aku pun jadi serba
salah.
“Please, jangan berfikiran yang bukan-bukan tentangku!”
aku berusaha menenangkan.
“Tadi awalnya kami tidak berdua, tapi....”, belum selesai
kalimatku mencoba menjelaskan, tanpa sepatah katapun ia sudah bergegas keluar
ruangan sambil membawa tas besar penuh berisi buku. Aku pun lalu mengambil
beberapa buku yang tersisa karena tasnya tidak muat lagi dan segera menyusul
langkahnya dengan tergesa-gesa.
* * *
Satu jam sudah aku duduk dengan fikiran tak menentu dalam
penantian. Menanti kapan selesainya sidang ujian skripsi Ayu. Menanti berapa
hasil ujian yang akan diperolehnya. Menanti sikap apa yang akan ditunjukkannya
kepadaku, masih marah, kesal, tidak mau bicara, atau apa?
Kalau dikilas balik, selama satu tahun lebih hubungan
kami, memang bisa dikatakan seringkali diwarnai pertengkaran kecil. Sifat kami
yang sama-sama keras dan tak mau mengalah tak jarang memunculkan
benturan-benturan. Beruntung waktu pertemuan kami dibatasi oleh status Ayu yang
tinggal di Pesantren. Sehingga kami dapat berkomunikasi langsung hanya di jadwal
perkuliahan saja, selebihnya hanya jika ada kegiatan organisasi, itupun jika ia
mengantongi izin dari pengurus pesantren. Logikanya, kalau jarang bertemu maka
jarang berkomunikasi, dan berkuranglah potensi konflik di antara kami. Tapi
negatifnya, kalau diantara kami masih tersimpan masalah yang belum
terselesaikan, maka selama tidak bertemu itu pula hari-hari jadi terasa begitu menyesakkan.
Jika dirunut lagi kebelakang, awal hubungan kami pun
cukup unik. Berawal dari kesamaan nasib, yaitu sama-sama anak rantau. Aku berasal
dari ujung barat pulau Kalimantan dan Ayu dari ujung timur pulau Jawa. Lalu kami
bertemu di tengah-tengah pulau Madura, yaitu Pamekasan. Kami pun seringkali saling
curhat ketika ada masalah, atau saling menguatkan ketika rasa rindu keluarga
mulai membuncah.
Anehnya, dimasa-masa kedekatan sebagai teman biasa itupun
sebenarnya kami sudah kerap terlibat dalam konflik-konflik ringan. Tapi yang
lebih aneh lagi, jika beberapa hari tidak bertemu hati kami segera diliputi
kerinduan. Tidak sekali dua kali kami diisukan pacaran, tapi kami selalu
membantah, karena kami merasa memang tidak pernah ada ikatan khusus kecuali
persahabatan. Meskipun sejujurnya kuakui bahwa sebenarnya aku takut kehilangan
dia, tapi hati kecilku masih ragu apakah dia punya perasaan yang sama. Sementara
nyaliku masih terlalu ciut untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Hingga pada
suatu saat, karena desakan teman-teman dekatku, aku pun memberanikan diri
‘menembak’ nya ketika kami dan teman-teman berkunjung ke pantai saat menjelang
liburan panjang. Singkat cerita, kamipun ‘jadian’ hingga saat ini.
“Alhamdulillah, sudah selesai!” suara Ayu tiba-tiba
menyadarkanku dari lamunan. Belum sempat aku membalikkan badan ternyata dia
sudah berdiri di hadapanku.
“Bagaimana hasilnya?” tanyaku penasaran.
“Aku dapat nilai A!” balasnya dengan senyum mengembang
menambah aura manis di wajahnya yang tampak sangat sumringah. Satu persatu
kekhawatiranku nampaknya mulai runtuh. Tapi bagaimana dengan sikapnya tadi saat
melihatku berdua dengan Gadis? Apakah juga sudah mencair bersama euforia
keberhasilannya dalam ujian? Aku masih penasaran.
“Syukurlah, selamat ya say...”, ucapku sambil mengulurkan
tangan. Ia pun menjabat tanganku dengan hangat seakan-akan tidak ada masalah
apa-apa sebelumnya.
“Aku minta maaf masalah yang tadi, aku...”.
“Sudahlah! Aku percaya kok sama kamu, tadi aku terbawa
emosi aja, biasalah”.
“Terimakasih sayang, kepercayaanmu akan menjagaku!”
“Oya, untuk merayakan keberhasilanku, bagaimana kalo aku
traktir kamu makan?”
“Ok bos, siapa takut! Tapi ngomong-ngomong kita makan
dimana?”
“Ya biasalah, dimana lagi kalo bukan di warung Bu Nan,
‘restoran’ favorit mahasiswa STAIN...!”
“Hahaha...” Kami pun tertawa bersama. Menertawakan
kehidupan yang terkadang berjalan di luar yang kita rencanakan atau yang kita
takutkan, tapi terkadang justru itulah sesungguhnya yang kita butuhkan.
Singkawang, 30 November 2013
Catatan:
Terimakasih untuk Kang Dhoil yang telah menginspirasi saya melalui sajaknya di (https://www.facebook.com/notes/doil-lennyornek/stain-jl-brawijaya-no-5-pamekasan-bag-i/10151955013429191?ref=notif¬if_t=note_tag) sehingga lahirlah cerita sederhana ini. semoga suatu saat kita bersama alumni yang lain bisa bersua kembali di Auditorium 'STAIN Brawijaya' untuk menapak tilasi jejak-jejak masa lalu untuk menginspirasi masa depan...