Minggu, 01 Desember 2013

SEPENGGAL CERITA DI KAMPUS TUA

                Siang itu, mataku terpaku menatap kosong halaman kampus yang berada tepat di depanku. Halaman yang boleh dibilang sangat kecil untuk sebuah perguruan tinggi Islam negeri satu-satunya di pulau Madura. Disekelilingnya berdiri beberapa pohon cemara dan akasia dengan diselingi beberapa batang pohon Pinang yang tak berbuah. Rumputnya pun terlihat mulai meninggi dibeberapa bagian, sementara dibagian yang lain terlihat tanah becek akibat anak-anak warga tetangga kampus yang biasanya sengaja datang bermain bola di sore hari. 
Halaman itu terlihat semakin sempit dengan berdirinya pot-pot semen ‘raksasa’ untuk ukuran pohon bunga di dalamnya yang masih kecil. Disekitarnya berdiri bangunan-bangunan tua yang konon telah melahirkan generasi-generasi intelektual atau alumni yang tersebar diberbagai daerah tidak hanya di Pulau Garam ini tapi juga hingga ke seberang pulau, termasuk guruku sendiri yang saat ini mengelola pesantren tempatku menimba ilmu sebelumnya di Kalimantan Barat. Yah, dari beliaulah aku tahu adanya kampus ini, dan mungkin itulah salah satu alasan mengapa aku berada disini saat ini. Padahal melihat dari daerah asalku nun di pulau Kalimantan, terdengar sedikit aneh aku bisa memilih sebuah kampus ‘kecil’ yang berada hampir di tengah pulau yang terkenal beraroma keras ini. Bahkan pernah suatu ketika saat aku hendak membuat buku rekening tabungan di salah satu bank, petugas bank tersebut mengernyitkan dahi saat kutunjukkan kartu pelajarku.
“Kenapa mbak? Ada yang aneh?” tanyaku penasaran.
“Nggak, Cuma heran aja, kok bisa dari Kalimantan kuliah disini!” jawab teller bank yang kemudian kuketahui bernama Yanti dari papan yang ada dimejanya.
“Padahal sebelum sampai sini kan lewat Surabaya dulu, disana banyak perguruan tinggi yang lebih besar, atau di Malang yang terkenal sebagai kota pelajar”, lanjutnya.
Aku pun hanya bisa tersenyum kecut mendengarnya. Bukan karena tidak mengerti alasanku kuliah disini, justru karena aku tahu persis alasan-alasan itu yang menurutku memang ‘aneh’ dan biarlah aku saja yang mengetahuinya. Apalagi ketika mendengar nama kota terakhir yang disebut teller bank tadi, Malang.
Ya, kota pelajar yang terkenal bersuhu dingin itu. Ketika baru memasuki semester kedua di kampus ini, aku sempat berniat pindah kuliah ke kota apel itu. Hal itu terjadi sepulangnya aku mengunjungi temanku yang sedang kuliah di sana. Jujur aku terpesona dengan suasana di kandang Singo Edan itu. Bukan saja keindahan alam dan kesejukan hawanya, tapi juga hiruk pikuk mahasiswanya yang begitu mewarnai wajah kota. Sehingga ketika berada didalamnya, aku betul-betul merasakan nuansa ilmu pengetahuan di samping aroma ‘pergaulan khas’ muda-mudi sebagaimana lazimnya disetiap daerah yang dikenal sebagai kota pelajar.
Di saat yang sama, dimasa-masa awal aku menjalani perkuliahan di kampus yang oleh kawan-kawan  seringkali dijuluki ‘kampus mewah’ ini (bukan mewah dalam arti sesungguhnya, tapi akronim dari ‘mepet sawah’ karena posisinya yang memang bersebelahan dengan ladang tembakau), marak sekali aksi-aksi demonstrasi yang (katanya) dipelopori oleh teman-teman seangkatanku (angk. ’99) dimana penyebab awalnya berkaitan dengan ketidakpastian izin penyelenggaraan salah satu jurusan yang memang baru dimulai. Bukan hanya unjuk rasa biasa, kami bahkan sempat menyegel semua pintu kelas sehingga perkuliahan ditutup selama dua minggu, dan puncaknya adalah ketika kami membakar petasan di ruang Pembantu Ketua I sebagai aksi intimidasi agar tuntutan kami disetujui. Meskipun aksi-aksi tersebut kemudian dianggap berhasil, namun tak bisa dipungkiri, selama semester pertama dan kedua itu, efektifitas perkuliahan menjadi sangat terganggu.
Itulah beberapa alasan yang membuatku pernah ingin ‘hengkang’ dari kampus ini. Namun saat ini, memasuki saat-saat akhir aku belajar disini, tepatnya semester VII, dimana aku sudah hampir menyelesaikan tugas skripsiku, perasaan itu telah benar-benar berubah. Aku sangat menikmati dan bahkan bersyukur telah memilih bertahan kuliah disini. Biarpun lokasi kampusnya kecil, tapi aku mulai sadar, karena itulah silaturrahim diantara kami mudah tersebar. Hampir semua mahasiswa saling mengenal, meskipun hanya saling mengingat wajahnya. Walaupun jumlah mahasiswanya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan kampus besar, justru dengan begitu persaingan terasa longgar. Terutama dalam mengikuti aktifitas yang dilaksanakan oleh organisasi intern kampus. Bahkan pada saat yang sama, terkadang aku bisa aktif dalam beberapa organisasi dan mengisi dua sampai tiga jabatan ‘strategis’ sekaligus. Dari organisasi pula, aku kemudian mengenal sahabat-sahabat yang luar biasa, seperti syamsi, atoup, udin, mail, bonks, yudi, ucen, asbul, sinal, doil, kus, aan, sakin, ning, lilik dan lain-lain yang tak mungkin kusebutkan semua. Last but not least, yang paling utama dari semua alasanku bertahan adalah bahwa disinilah aku mengenal seorang mahasiswi classmate-ku yang kemudian menjadi kekasihku hingga detik ini.
 Dan saat ini, aku duduk gelisah didepan ruang Kantor Jurusan Syari’ah, dimana didalamnya kekasihku itu sedang berjuang mempertahankan hasil penelitiannya dalam sidang ujian skripsi. Aku gelisah bukan saja khawatir ia akan kesulitan dalam mempertanggung jawabkan tugasnya, tapi lebih dari itu aku mengkhawatirkan kemarahannya atau lebih tepatnya kecemburuannya padaku akibat kejadian dua jam yang lalu akan membuat emosinya labil, konsentrasinya buyar, dan akhirnya hasil ujian pamungkasnya sebagai mahasiswa menjadi berantakan. Dalam gelisahnya penantian, peristiwa dua jam lalu itu pun kembali terulang dalam memori ingatanku.

*  *  *

Sudah beberapa bulan terakhir ini aku menempati ruangan 3x5 meter berdinding putih ini. Ruangan yang dahulunya merupakan bagian dari ruangan perpustakaan kampus ini telah disulap menjadi studio Radio Nuansa FM. Radio mahasiswa pertama milik STAIN Pamekasan yang mengudara di gelombang 92,05 fm ini merupakan hasil ‘perjuangan’ kami (doil dan aku yang saat itu menjadi pengurus di DEPKOMINFO eh, DEPKOMFOS BEM 2002-2003) bersama teman-teman BEM lain yang sebelumnya sempat ditolak oleh pihak senat kampus. Setelah melalui beberapa kali lobi dan sedikit ‘tekanan’ akhirnya turunlah anggaran pengadaan radio yang aku tanda tangani sendiri kwitansinya. Walaupun setelah itu satu sen pun aku sendiri tidak pernah tau rincian pengeluarannya karena sudah dikelola oleh pimpinan BEM langsung. Singkatnya, akupun dipercayai untuk bertanggung jawab atas operasional radio ini. Setiap pagi pukul 04.30 WIB aku sudah harus menghidupkan mesin pemancar, dan mematikannya setiap malam sehabis siaran. Selain menjadi salah satu penyiar di salah satu segmen, aku juga yang bertugas mengganti lagu sesuai segmen jika petugas siar berhalangan atau terlambat datang. Dengan tugas-tugas tersebut, agar lebih efektif dan efisien (maksudnya menghemat dana anggaran ngontrak kos-kosan) maka akupun sekalian tinggal di ruangan yang cukup beresiko radiasi ini.
Pagi itu, aku sedang membereskan beberapa buku yang akan digunakan pacarku, sebut saja Ayu, untuk sidang ujian skripsinya nanti siang. Tiba-tiba datang beberapa mahasiswa adik kelas yang berkunjung. Mereka adalah Baihaqi –aktifis angkatan 2001, bersama teman-temannya.
“Ada apa nih? Kok tumben datangnya rombongan?” tanyaku setelah sebelumnya berbasa-basi.
“Begini, kami mau minta pendapat menyikapi peristiwa seputar perpolitikan di kampus kita akhir-akhir ini,” jawab Baihaqi yang menjadi ‘juru bicara’ teman-temannya saat itu.
Memang, beberapa hari sebelumnya terjadi satu peristiwa yang mungkin baru pertama kali dalam sejarah organisasi mahasiswa di kampus ini. Musyawarah tertinggi mahasiswa yang melibatkan perwakilan dari seluruh elemen organisasi kemahasiswaan baik eksekutif (BEM, UKM dan HMJ) maupun legislatif (DPM) itu tiba-tiba buyar karena masuknya sekelompok mahasiswa yang tidak jelas mewakili elemen yang mana. Akibatnya sidang pun deadlock bahkan bubar. Pasca peristiwa tersebut, kemudian muncul berbagai sinyalemen dan asumsi dikalangan mahasiswa khususnya aktifis kampus akan motif pembubaran tersebut. Salah satunya adalah adanya dugaan dan isu bahwa pembubaran tersebut memang direkayasa oleh ketua BEM sendiri agar bisa berkuasa lagi diperiode berikutnya. Padahal ditengarai pada masa kepemimpinannya, lembaga intern mahasiswa yang seharusnya netral dari politik praktis di luar kampus tersebut telah disalah gunakan untuk mendukung salah satu calon pemerintah daerah yang sedang bertarung saat itu. Hal ini tentu menciptakan suasana yang semakin ‘panas’ di kalangan adik kelas yang lazimnya mendapat ‘giliran’ untuk memimpin lembaga eksekutif tertinggi di tingkat kemahasiswaan tersebut. Meskipun aku adalah bagian dari kepengurusan BEM saat itu, namun sebagian adik kelas ada yang menganggapku masih di posisi yang netral dari abuse of power itu, sehingga sesekali ada mahasiswa yang meminta pendapatku dalam menyikapi kemelut tersebut.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Baihaqi, tiba-tiba masuk seorang mahasiswi yang dikenal paling vokal di angkatannya. Sebut saja namanya Gadis. Mahasiswi manis dan mungil tapi lincah dan energik yang merupakan adik kelas satu tingkat dariku. Akhir-akhir ini kami memang cukup sering bertemu dan berkomunikasi. Selain berdiskusi tentang organisasi, kami sering ngobrol seputar radio dimana dia juga salah satu penyiarnya. Karena itu pula, tak bisa dihindari jika kemudian ada selentingan kabar yang mengatakan adanya hubungan spesial di antara kami berdua.
Obrolan yang berlangsung di lorong yang menghubungkan studio radio dengan kantor BEM itu pun menjadi semakin seru dengan bergabungnya Gadis. Apalagi dengan gayanya yang ceplas ceplos dan humoris tak jarang suara tawa kami pun tak terhindarkan. Setelah hampir satu jam kami berdiskusi, Baihaqi yang juga berasal dari satu daerah denganku bersama teman-temannya pun pamit. Tinggallah aku dan Gadis melanjutkan obrolan. Berbagai topik silih berganti kami bahas, hingga tiba-tiba muncullah seorang wanita yang sangat kukenal, sosok yang sudah setahun lebih menjadi kekasihku. Dengan wajah terlihat marah, tanpa babibu ia langsung menerobos masuk melintasi kami berdua ke dalam ruang radio lalu mengemasi buku-buku untuk sidang ujian skripsinya. Memang, sesuai jadwal, siang ini dia akan mengikuti sidang di ruang Jurusan Syari’ah.
Melihat gelagat yang kurang enak, aku langsung minta maaf kepada Gadis untuk meninggalkannya dan segera menyusul kekasihku itu. Aku sadar dan tidak bisa menyalahkan jika dia marah melihatku duduk berdua saja dengan seorang wanita di ruangan yang relatif tertutup. Apalagi wanita itu adalah orang yang diisukan memiliki ‘kedekatan’ khusus denganku. Aku pun jadi serba salah.
“Please, jangan berfikiran yang bukan-bukan tentangku!” aku berusaha menenangkan.
“Tadi awalnya kami tidak berdua, tapi....”, belum selesai kalimatku mencoba menjelaskan, tanpa sepatah katapun ia sudah bergegas keluar ruangan sambil membawa tas besar penuh berisi buku. Aku pun lalu mengambil beberapa buku yang tersisa karena tasnya tidak muat lagi dan segera menyusul langkahnya dengan tergesa-gesa.       
    
*  *  *

Satu jam sudah aku duduk dengan fikiran tak menentu dalam penantian. Menanti kapan selesainya sidang ujian skripsi Ayu. Menanti berapa hasil ujian yang akan diperolehnya. Menanti sikap apa yang akan ditunjukkannya kepadaku, masih marah, kesal, tidak mau bicara, atau apa?
Kalau dikilas balik, selama satu tahun lebih hubungan kami, memang bisa dikatakan seringkali diwarnai pertengkaran kecil. Sifat kami yang sama-sama keras dan tak mau mengalah tak jarang memunculkan benturan-benturan. Beruntung waktu pertemuan kami dibatasi oleh status Ayu yang tinggal di Pesantren. Sehingga kami dapat berkomunikasi langsung hanya di jadwal perkuliahan saja, selebihnya hanya jika ada kegiatan organisasi, itupun jika ia mengantongi izin dari pengurus pesantren. Logikanya, kalau jarang bertemu maka jarang berkomunikasi, dan berkuranglah potensi konflik di antara kami. Tapi negatifnya, kalau diantara kami masih tersimpan masalah yang belum terselesaikan, maka selama tidak bertemu itu pula hari-hari jadi terasa begitu menyesakkan.
Jika dirunut lagi kebelakang, awal hubungan kami pun cukup unik. Berawal dari kesamaan nasib, yaitu sama-sama anak rantau. Aku berasal dari ujung barat pulau Kalimantan dan Ayu dari ujung timur pulau Jawa. Lalu kami bertemu di tengah-tengah pulau Madura, yaitu Pamekasan. Kami pun seringkali saling curhat ketika ada masalah, atau saling menguatkan ketika rasa rindu keluarga mulai membuncah.
Anehnya, dimasa-masa kedekatan sebagai teman biasa itupun sebenarnya kami sudah kerap terlibat dalam konflik-konflik ringan. Tapi yang lebih aneh lagi, jika beberapa hari tidak bertemu hati kami segera diliputi kerinduan. Tidak sekali dua kali kami diisukan pacaran, tapi kami selalu membantah, karena kami merasa memang tidak pernah ada ikatan khusus kecuali persahabatan. Meskipun sejujurnya kuakui bahwa sebenarnya aku takut kehilangan dia, tapi hati kecilku masih ragu apakah dia punya perasaan yang sama. Sementara nyaliku masih terlalu ciut untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Hingga pada suatu saat, karena desakan teman-teman dekatku, aku pun memberanikan diri ‘menembak’ nya ketika kami dan teman-teman berkunjung ke pantai saat menjelang liburan panjang. Singkat cerita, kamipun ‘jadian’ hingga saat ini.
“Alhamdulillah, sudah selesai!” suara Ayu tiba-tiba menyadarkanku dari lamunan. Belum sempat aku membalikkan badan ternyata dia sudah berdiri di hadapanku.
“Bagaimana hasilnya?” tanyaku penasaran.
“Aku dapat nilai A!” balasnya dengan senyum mengembang menambah aura manis di wajahnya yang tampak sangat sumringah. Satu persatu kekhawatiranku nampaknya mulai runtuh. Tapi bagaimana dengan sikapnya tadi saat melihatku berdua dengan Gadis? Apakah juga sudah mencair bersama euforia keberhasilannya dalam ujian? Aku masih penasaran.
“Syukurlah, selamat ya say...”, ucapku sambil mengulurkan tangan. Ia pun menjabat tanganku dengan hangat seakan-akan tidak ada masalah apa-apa sebelumnya.
“Aku minta maaf masalah yang tadi, aku...”.
“Sudahlah! Aku percaya kok sama kamu, tadi aku terbawa emosi aja, biasalah”.
“Terimakasih sayang, kepercayaanmu akan menjagaku!”
“Oya, untuk merayakan keberhasilanku, bagaimana kalo aku traktir kamu makan?”
“Ok bos, siapa takut! Tapi ngomong-ngomong kita makan dimana?”
“Ya biasalah, dimana lagi kalo bukan di warung Bu Nan, ‘restoran’ favorit mahasiswa STAIN...!”
“Hahaha...” Kami pun tertawa bersama. Menertawakan kehidupan yang terkadang berjalan di luar yang kita rencanakan atau yang kita takutkan, tapi terkadang justru itulah sesungguhnya yang kita butuhkan.


Singkawang, 30 November 2013

Catatan: 
Terimakasih untuk Kang Dhoil yang telah menginspirasi saya melalui sajaknya di (https://www.facebook.com/notes/doil-lennyornek/stain-jl-brawijaya-no-5-pamekasan-bag-i/10151955013429191?ref=notif&notif_t=note_tag) sehingga lahirlah cerita sederhana ini. semoga suatu saat kita bersama alumni yang lain bisa bersua kembali di Auditorium 'STAIN Brawijaya' untuk menapak tilasi jejak-jejak masa lalu untuk menginspirasi masa depan...

















5 komentar:

  1. terus terang tanpa trasa air mataku menetes mmbaca kisah anda,,,,smoga kisah2 tman yang lain juga bisa di tulis dan di posting mlalui blog sperti punya mas amin

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe... trimakasih kang asis, mgkin karena nulisnya dari hati, jadi bacanya jga dengan hati... apalagi mas asis jg saksi hidup peristiwa2 dlm cerita itu termasuk 'hubungan' kami saat itu... hehe

      Hapus
  2. Lumayan cerpennya...!tapi jujur masih terlalu garing..!membayangkan si "aku" dalam cerpen serasa bukan melihat amin didalamya..!

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih sudah baca... maklum baru belajar nulis, tpi menulis peristiwa dalam kisah nyata sepertinya memang lebih sulit, mau terlalu bebas dalam mengeksplorasi dialog rasanya jadi 'lebay'... akhirnya ya jadinya agak garing dan kaku... apalagi isinya memang ingin memuat beberapa peristiwa yg memang nyata... hehe

      Hapus