Senin, 06 Februari 2023

KETIKA TASBIH BERCINTA 1


Arini tak kuasa menahan kekesalannya. Dibantingnya hasil ujian statistik ditangannya ke atas meja. Ia tak habis pikir, mengapa nilai ujian sebagian besar mata kuliahnya masih saja jeblok. Padahal ia merasa dalam ujian kali ini sudah berusaha lebih maksimal dibanding ujian-ujian sebelumnya, dimana Ia selama ini memang sangat cuek dengan urusan mata kuliah. Ia lebih suka shopping bareng teman-temannya lalu berburu kuliner dari resto ke resto. Atau jika tidak, ia menghabiskan waktunya di depan laptop mengutak-atik facebook. Di tengah kegalauannya tiba-tiba HPnya berbunyi. Rupanya telepon dari Boby, cowok yang dipacarinya sejak tiga bulan yang lalu.

“Halo honey, lagi dimana nih?”

“Aku masih di kampus nih say, kesel banget, masak nilaiku masih jeblok semua!”

“Ya udah, Abang jemput ya, terus kita jalan-jalan sambil cari makanan kesukaanmu, gimana?” 

“Ok dech honey, aku tunggu di tempat biasa ya!”

            Arini tersenyum. Sejenak ia mulai melupakan masalahnya. Menurutnya Boby memang cowok pilihan yang tepat. Bukan hanya memiliki wajah yang tampan dan tajir, tapi Ia juga pengertian dan bisa menjadi pelipur di kala hatinya lara.

            Tidak banyak yang tahu, termasuk Arini, bahwa nama lengkap Boby sebenarnya adalah Rizky Tasbihullisan. Wajahnya yang mirip artis dan anak seorang pengusaha terkenal di kotanya, ditambah kemampuannya merayu yang di atas rata-rata membuatnya dengan mudah menaklukkan hati wanita yang diinginkannya. Tak heran, dunia asmaranya tak cukup hanya berpetualang dari hati ke hati, tapi tak jarang dalam waktu bersamaan dilakoni dengan beberapa cinta sekaligus. Dasar playboy!

            “Kok lama banget say? Perutku udah laper banget nih!” rengek Arini manja ketika Boby tiba.

            “Sory cantik, tadi masih ngisi bensin, silahkan tuan putri!” kilah Boby sambil membukakan pintu mobil.

            “Kita makan di mana say?”

            “Tenang aja, abang akan bawa kamu ke tempat spesial dengan menu serba spesial!”

            “Wah, abang tau aja kesukaan Arini, jadi nggak sabar nih”.

            Tak lama kemudian mereka pun tiba di cafĂ© Platinum, tempat santap siang para eksmud yang cukup terkenal.

            “Silahkan tuan putri pilih menunya!” goda Boby dengan gaya seorang waitress sambil menyodorkan daftar menu.

            “Thanks honey,” balas Arini dengan wajah kemerahan. Tersanjung.

            Tiba-tiba HP Boby berbunyi. Rupanya SMS dari Evita. Waduh aku hampir lupa, hari ini kan ulang tahun Evita, pikir Boby kaget. Padahal dia belum menyiapkan hadiah untuk cewek yang baru dipacarinya sebulan yang lalu itu.

            “Dari siapa say, kok kaget begitu, ada apa?”

            “Ah, nggak apa-apa, hampir lupa beli hadiah untuk ultah adik,” kilah Boby berbohong.

            “Ya udah, nanti sekalian habis makan aku temani belanja ya!”

            “Oke manis, selamat menikmati hidangannya ya!” balas Boby dengan wajah innocent  khas playboy.

            Malam itu Boby segera meluncur kerumah Evita. Sosok pacarnya yang satu ini berbeda seratus delapan puluh derajat dari Arini. Evita yang terkenal kutu buku tidak suka hang out bersama teman-temannya apalagi ke acara-acara pesta dan kemeriahan lainnya. Ia lebih suka suasana sepi perpustakaan atau toko buku sambil melahap berbagai buku bacaan, mulai dari novel romantis hingga filsafat klasik. Tak heran jika cewek berkacamata ini mendapat IP lumayan di kampus. Selain yang berbau bacaan, hal yang disukainya adalah nonton film-film terbaru, terutama film ber-genre adventures.

            Happy birthday honey… I wish you all the best!” sapa Boby tanpa basa-basi setelah bertemu Evita di depan pintu rumahnya sambil menyodorkan kado dengan pita merah ditangannya. Isinya adalah Novel terbaru karya pengarang favorit Evita yang tadi siang dipilihkan oleh Arini. Boby bilang ke Arini kalau adiknya yang ultah itu adalah kutu buku dan bla bla bla…

            Thanks a lot my prince, you’re so kind…!” balas Evita surprised sambil merangkulkan tangannya ke leher Boby. Boby segera membalas dengan kecupan di kening pacarnya itu.

            “Gimana kalau kita nonton bioskop malam ini? Abang udah siapkan dua karcis lho!” tawar Boby.

            “Oh ya?! mau bangeet… by the way, film apa honey?” Tanya Evita penasaran.

            Ada aja, abang yakin kamu pasti suka, ok!” kelit Boby tak mau pacarnya kehilangan rasa penasaran.

            “Uuh dasar… tapi nggak apa-apa dech,” Evita menyerah sambil mencubit lengan kekasihnya.

            Akhirnya kedua insan dimabuk cinta itu larut dalam kebahagiaan mereka. Evita merasa sangat beruntung karena dianugerahi kekasih sebaik Boby. Tak terpikir olehnya bahwa ia hanya menjadi korban dari kebiasaan Boby yang doyan berpetualang dari satu gadis ke gadis lainnya. Bagi Boby, bercinta dengan beberapa gadis berbeda type dan kebiasaan, adalah hal yang dapat menghindarkannya dari kebosanan. Persetan dengan kesetiaan! Kesetiaan hanya melahirkan rasa possessive dan kecemburuan, yang akhirnya bermuara pada kecengengan. Puiih!

* * *

             Pagi itu Bobby sedang berjalan menuju ruang Auditorium kampus untuk menghadiri acara bedah buku tentang Jejaring Zionisme yang diadakan oleh para aktivis Lembaga Dakwah Kampus. Sebenarnya ia kurang minat dengan diskusi, apalagi yang bertemakan SARA. Namun entah kenapa hari ini ia mau menghadiri undangan Khalid, teman sekelasnya yang aktifis dakwah. Selain karena memang lagi tidak ada jam kuliah, sejak beberapa hari lalu Boby dihantui rasa penasaran pada seseorang. Ia adalah gadis berjilbab yang motornya tersenggol tak sengaja oleh mobilnya. Sekilas ia sempat memandang wajah gadis itu, namun ketika ia membuka kaca mobilnya untuk meminta maaf, gadis itu sudah keburu pergi. Ia masih ingat wajah gadis itu, dari busananya, ia yakin kalau gadis itu juga aktifis dakwah, siapa tahu bisa ketemu di acara ini, harap Boby.

            Tiba-tiba matanya menangkap sosok jilbaber yang sedang menuju ke arah yang sama dengannya. Ya, benar, dialah orang yang saya cari, ini kesempatan yang baik buat minta maaf sekalian berkenalan. Ternyata manis juga, pikirnya nakal. Wajahnya yang berseri terbalut jilbab, matanya yang terjaga alias lebih banyak menunduk menambah pesona berbeda dibanding dengan kebanyakan perempuan yang pernah didekatinya selama ini. Baru kali ini ia menyadari bahwa wanita berjilbab tidak saja bisa terlihat cantik tapi juga menyejukkan hati. Boby mulai bersiap dengan akting nomor sebelas. Masuki dulu atmosfirnya, sok alim, lalu keluarkan jurus maut andalannya.

            “Assalamualaikum!” sapa Boby saat berpapasan di dekat pintu sambil tetap menundukkan kepala hanya ujung matanya saja yang masih saja melirik ke arah si gadis.

            “Waalaikum salam warahmatullah!” jawab gadis tersebut kaget mendapat salam tiba-tiba dari orang yang tak dikenalnya.

”Nama saya Tasbih, Tasbihullisan, bolehkah tahu nama anda?” entah kenapa ia tak dapat berbohong pada gadis tersebut dengan menggunakan nama samarannya selama ini. Namun gadis tersebut terlihat cuek bahkan segera meneruskan langkahnya. Dengan sigap Boby segera melanjutkan serangannya.

“Ukhti, Demi Tuhan ana akan melakukan tiga kebaikan hari ini jika anda menjawab tiga pertanyaan ana!” Boby tahu kosakata arab tersebut saat ngobrol dengan Khalid beberapa waktu lalu. Semoga ampuh, harapnya. Dan ternyata gadis berjilbab itu seketika berhenti. Boby pun tak mau kehilangan buruannya.

“Maafkan ana atas tabrakan kecil beberapa waktu lalu, Siapakah nama ukhti? Bersediakah Ukhti menikah dengan ana?” serang Boby mantap. Ia sadar jika tipe gadis dihadapannya itu sangat anti dengan istilah pacaran, tidak seperti Arini, Evita dan gadis-gadis yang pernah ia taklukkan selama ini. Alhasil, gadis itu akhirnya menoleh meski sesaat dan mulai mau bersuara.

“Panggil saya Hanifa, saya sudah memaafkan, jika butuh bantuan silahkan akhi menghubungi sekretariat LDK di dekat masjid Kampus!” balasnya seraya berlalu meninggalkan Boby yang terbengong sendirian.

Yes! Pekik Boby dalam hati. Meskipun pertanyaan terakhirnya tak mendapat jawaban langsung, tapi ia cukup puas dengan sekedar mengetahui nama gadis itu. Tinggal follow up-nya saja pikirnya. Ia tak sanggup menggambarkan perasaannya saat ini. Entah mengapa menatap gadis itu perasaannya bergetar tak seperti biasa. Menaklukkan gadis-gadis seperti yang pernah dipacarinya selama ini sudah menjadi hal yang biasa baginya. Tapi yang ini beda, ada tantangan tersendiri yang sulit untuk dijelaskan. Yang pasti, demi memenuhi janjinya pada Hanifa untuk melakukan tiga kebaikan hari ini, ia akan menggagalkan dua janji kencannya dengan Arini dan Evita, dan yang ketiga dia akan mencari Khalid untuk belajar lebih banyak tentang LDK.

* * *

Waktu terus berlalu. Tak terasa sudah seminggu sejak kejadian di Audit, Boby masih larut dalam upaya tebar pesona demi memperjuangkan target terbarunya. Setiap hari ia menyibukkan diri dengan aktifitas di seputar lingkungan masjid kampus, seperti halaqah, shalat berjama’ah, membaca al-Qur’an dll. Dagunya yang tajam mulus mulai menghitam ditumbuhi bulu-bulu halus. Saya belum pernah gagal mendapatkan gadis yang saya inginkan! Tekadnya. Semua pacarnya dengan mudah dapat ditaklukkan dengan menggunakan cara yang sama, yaitu masuki atmosfernya, penuhi keinginannya dan sentuh hatinya, pasti klepek-klepek! Termasuk targetnya saat ini yang menurutnya paling berat dibanding sebelum-sebelumnya, yaitu mendapatkan cinta Hanifa. Meskipun untuk itu ia harus melakukan apa yang selama ini tak pernah terbayangkan dalam kehidupannya yang hedonis dan glamour.  

Karena tak ingin konsentrasinya pecah, praktis selama itu pula ia tak pernah lagi mengencani Arini dan Evita kecuali via SMS atau telepon, itupun jarang-jarang. Tak ayal, keduanya jadi uring-uringan. Arini yang lebih agresif mulai mencari informasi tentang keberadaan pacarnya itu. Dari teman-teman Boby akhirnya Arini kaget setelah mengetahui seperti apa sebenarnya sosok Arjunanya itu. Bahkan ia lebih kaget lagi ketika tahu bahwa pacar lain dari Boby adalah Evita yang tak lain adalah temannya sendiri semasa SMA. Awalnya ia sempat melabrak Evita sehingga terjadi percekcokan hebat. Tapi akhirnya keduanya menyadari bahwa mereka sebenarnya bernasib sama, yaitu sama-sama korban Boby. Berangkat dari nasib yang sama itu pula, merekapun lalu menyusun sebuah rencana!

Suatu ketika Boby yang di kalangan aktifis dakwah lebih akrab dipanggil Tasbih mulai memberanikan diri curhat kepada Khalid tentang apa yang sedang membuncah di hatinya.

“Akh Khalid, apakah mencintai seorang lawan jenis itu dilarang dalam agama?”

“Antum ada-ada saja, tentu saja tidak, justru hal itu adalah nikmat yang harus disyukuri selama disalurkan dengan cara yang dibenarkan oleh agama,” jelas Khalid. “Wah, jadi curiga nih, jangan-jangan lagi kasmaran ya?” sambungnya penuh selidik.

Akhirnya Boby menceritakan segala yang sedang dirasakannya saat itu sekaligus meminta solusi yang harus ditempuhnya. Khalid pun dengan panjang lebar menjelaskan langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk meraih asanya tersebut sebagaimana yang sudah lazim bagi para aktifis dakwah. Sebagai langkah pertama yang harus dilakukan adalah proses ta’aruf / perkenalan antara kedua lawan jenis. Proses ini diawali dengan saling mengenal lebih jauh tentang curriculum vitae atau biodata diri masing-masing baik melalui media tertulis atau langsung dari keluarga atau orang terdekatnya. Jika ada kecocokan barulah dilakukan pertemuan langsung dengan didampingi wali atau keluarga si gadis. Setelah itu barulah keputusan akhir bisa didapatkan, jadi atau gagal.

“Ok akh, ana siap melalui semua proses itu, tapi gimana dengan Hanifa?” tanya Boby masih bingung.

“Tenang saja, nanti ana yang akan menghubungi walinya, antum siapkan saja biodatanya, ok!” jelas Khalid sambil menepuk pundak Boby yang sudah kelihatan tak sabar.

Akhirnya genderang pun ditabuh (perang kali!). Dengan antusias Boby menyiapkan biodatanya sesuai dengan kesepakatan dari pihak si gadis. Bahkan tidak itu saja, Boby juga mendapatkan beberapa foto Hanifa sebagai bahan pertimbangan sebelum mereka bertemu langsung. Kata bersaut, gayung bersambut! Bisik hati Boby yakin bahwa upayanya kali ini kembali akan menuai hasil. Apalagi sesuai dengan permintaan dari pihak si gadis, pertemuan itu ternyata akan segera digelar lebih cepat dari dugaannya selama ini. Tiga hari lagi! Ya, tiga hari lagi ia akan segera bertemu dengan gadis pujaannya. Petualangan terakhirnya!? Yup, Boby berjanji untuk mengakhiri kebiasaannya mempermainkan wanita. Ia akan segera menikahi Hanifa, lalu memulai hidup baru yang jauh dari rekam jejak masa lalunya.

Tiga hari kemudian pertemuanpun dilangsungkan di kediaman Hanifa. Boby datang tidak sendirian, tapi ditemani Khalid, biar lebih tegar katanya. Setelah berbasa-basi sejenak, perbincangan inti pun di mulai. Dengan penuh percaya diri Tasbih alias Boby menyampaikan maksud kedatangannya ke tempat itu. Meskipun sudah berpengalaman dalam urusan tembak-menembak gadis, tapi untuk kali ini ia harus menyiapkan mental ekstra untuk melakukannya. Kalau sebelumnya ia hanya berdua-dua saja di tempat tertentu, tapi sekarang ia berada di tengah-tengah keluarga besar si gadis. Keringat mulai membasahi keningnya bersamaan dengan akhir dari perkataannya. Walaupun sebelumnya sudah yakin, tetap saja hatinya berdebar dan tak sabar menunggu jawaban langsung dari Hanifa.  

“Akhi Tasbih, menjalin silaturrahim dan persaudaraan adalah anjuran agama, dan yang memutuskannya akan di laknat oleh Allah azza wajalla. Saya dan seluruh keluarga tentu senang dengan kunjungan silaturrahim ini……”

“Jadi ukhti menerima lamaran ana…?” potong Boby tak sabar.

“Sebentar, saya belum selesai,” lanjut Hanifa. “Usaha menjalin persaudaraan juga ada etikanya, tidak boleh ada pihak lain yang merasa tersakiti sehingga akan mengganggu silaturrahmi yang sudah terjalin sebelumnya. Jadi, atas dasar ini pula, dengan berat hati saya tidak bisa menerima lamaran anda, karena jika diterima, ada orang-orang yang selama ini sudah lebih dahulu menjalin silaturrahim dengan saya akan tersakiti perasaannya!”

“Wah… ini nggak fair, jadi lamaran saya ditolak karena sudah ada orang lain yang lebih dahulu melamar ukhti, Siapa dia? Kenapa tidak disampaikan sebelumnya!?” balas Boby tak terima.

“Bukan, tapi mereka adalah teman-teman saya sejak SMA, Arini dan Evita……..!”   

 

 Siantan Hilir,  Juni 2009

 

(Cerpen yang judulnya diilhami film KCB ini pernah di muat di harian Pontianak Post edisi Juli 2009)

Senin, 07 Juli 2014

Lawan atau Musuh Politik?


Oleh : Mohammad Amin

            Suhu panas konstelasi politik nasional (pilpres) diakui atau tidak telah merambah hingga ke akar rumput. Suasana tersebut sangat terasa dalam berbagai perbincangan di berbagai tempat dan kesempatan. Mulai dari seminar di hotel berbintang hingga obrolan santai warung kopi di tepi jalan. Mulai dari diskusi di auditorium kampus hingga debat kusir di lorong kakus. Hal ini tidak bisa dihindari terutama akibat mengerucutnya calon presiden dan wakilnya hanya pada dua kubu, yaitu pasangan Prabowo Subianto–Hatta Rajasa dan Joko Widodo–Jusuf Kalla. Massa pendukung pun terbelah dua. Dua kubu tersebut kemudian berhadap-hadapan secara diametral dimana kondisi ini pada akhirnya juga menggiring para pendukung keduanya ‘bertemu’ secara frontal.
            Parahnya lagi, ibarat menanam jamur di musim hujan, hal tersebut terjadi di tengah kondisi pemahaman dan prilaku politik (political behaviour) masyarakat Indonesia yang masih rendah terhadap substansi politik. Bahwa bagi sebagian politisi, hakikat politik adalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana, sehingga untuk itu tidak ada yang abadi dalam politik kecuali kepentingan. Sementara bagi masyarakat awam, pilihan politik telah menjadi bagian dari harga diri yang harus diperjuangkan dengan cara apapun. Akhirnya muncullah fanatisme politik yang bisa berakibat fatal dan bahkan kontraproduktif dengan orientasi demokrasi itu sendiri. Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi, ketika dua orang tukang becak yang terlibat adu jotos gara-gara perbedaan capres-cawapres yang menjadi jagoannya.
            Secara intrinsik, realitas di atas juga terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat atau bahkan praktisi politik di negeri ini akan perbedaan antara lawan politik (political opponent) dan musuh politik (political enemy). Akibat kekaburan dalam melihat dan membedakan dua hal ini akhirnya berpengaruh pada cara pandang dan sikap bahkan cara bertindak mereka.
            Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online, terlihat bahwa kata musuh memang memiliki kedekatan arti dengan lawan. Namun, keduanya juga memiliki pengertian khas masing-masing yang tidak dimiliki oleh yang lainnya. Kata musuh juga bisa berarti sebagai sesuatu yang mengancam (kesehatan, keselamatan); yang merusakkan. Sementara kata lawan memiliki arti khas pasangan; teman. Dalam penggunaan sehari-hari, kedua istilah ini juga tidak selalu cocok dalam paduannya dengan kata yang lain. Misalnya ‘lawan bicara’ tidak bisa kita ganti dengan ‘musuh bicara’ atau ‘berlawanan arah’ tidak bisa kita ganti dengan ‘bermusuhan arah’. Di sisi lain, setiap yang dianggap ‘musuh’ akan selalu pantas disebut juga ‘lawan’. Sehingga bisa disimpulkan, bahwa lawan tidaklah selalu musuh tapi musuh pastilah lawan.
            Dalam konteks politik, perbedaan partai, caleg, atau capres-cawapres sesungguhnya masih dalam kategori ‘lawan’. Karena dengan keberadaannya justru untuk memperteguh dan mempertegas eksistensi yang lainnya. Adanya lawan akan membuat seseorang atau kelompok akan berusaha meningkatkan daya juangnya sekaligus menjadi barometer untuk mengukur kekurangan dan kelebihannya. Seperti kata orang bijak, ‘lawan debat’ adalah ‘kawan berfikir’, atau kalau dalam olah raga tinju adalah sebagai sparring partner. Selain itu, meskipun berbeda platform, pada prinsipnya semua kontestan politik memiliki arah dan tujuan yang relatif sama, yaitu untuk mewujudkan idealisme bangsa dan negara Republik Indonesia sebagaimana terangkum dalam Pancasila dan UUD 1945. Tidak bisa dibayangkan kalau misalnya hanya ada satu partai saja, atau satu calon presiden saja. Tentu kontestasi akan berjalan sangat membosankan, tidak menarik dan bahkan tidak kompetitif.
            Dengan demikian, adanya lawan haruslah dilihat dari sudut pandang positif. Sehingga kalaupun harus bersaing dalam mencari dukungan tapi tetap dengan mengedepankan cara-cara yang etis dan konstruktif. Bahkan akan lebih bagus lagi jika cara-cara menarik dukungan tersebut dikemas dengan lebih kreatif sehingga membuat pesta demokrasi ini berjalan atraktif dan bisa lebih menarik minat pemilih sehingga dapat mengurangi angka golput yang masih cukup besar.
            Tapi apa yang terjadi dengan situasi politik mutakhir justru menunjukkan realitas sebaliknya. Karena ‘lawan politik’ ditafsirkan secara keliru sebagai ‘musuh politik’ yang dianggap membahayakan atau mengancam eksistensi, akhirnya cara-cara kotor dan destruktif masih menjadi primadona para pendukung capres-cawapres. Pembunuhan karakter (character assasination) dengan kampanye hitam (black campaign) masih sangat terasa di berbagai media. Informasi berbau SARA masih begitu mewarnai dalam banyak berita. Bahkan dalam jajak pendapat Tim Litbang “Kompas” yang direlease Senin (9/6) lalu menyebutkan bahwa hampir 50% responden menganggap bahwa serangan-serangan kepada pribadi para capres melalui kampanye hitam sudah berlebihan. Hal ini tentu sangat tidak produktif bagi peningkatan mental politik warga negara Indonesia yang konon sedang menuju ke ranah perpolitikan modern. 
            Sementara itu disisi lain ‘musuh politik’ yang semestinya menjadi musuh bersama (common enemy) justru terabaikan. Dalam kamus Wikipedia disebutkan bahwa kata ‘musuh’ adalah istilah untuk sesuatu yang dipandang sebagai yang akan merugikan atau menjadi sebuah ancaman bagi yang lain. Dengan pengertian ini, maka yang sesungguhnya akan merugikan dan menjadi ancaman serius bagi perpolitikan di negeri ini bahkan mungkin ancaman bagi keberlangsungan demokrasi sehingga harus dijadikan ‘musuh bersama’ justru saat ini sedang membayang-bayangi kita semua.
            Jika dilihat dari berbagai varian pengertian politik menurut para ahli, maka ada beberapa ancaman serius yang harus dijadikan sebagai ‘musuh politik’ bersama bagi kita semua khususnya para politisi baik saat sedang berjuang meraih kekuasaan maupun ketika sudah menduduki singgasana nanti.
            Pertama, jika politik diartikan sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles) maka saat ini kita semua masih dihadapkan pada permasalahan yang cukup serius dalam hal kesejahteraan warga, dimana angka kemiskinan di negeri diyakini masih cukup tinggi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) yang setiap tahunnya merilis tingkat kemiskinan Indonesia, pada akhir tahun 2013 lalu indeks kedalaman kemiskinan naik dari 1,75% (Maret 2013) menjadi 1,89%. Kemudian indeks keparahan kemiskinan naik dari 0,43% (Maret) menjadi 0,48%. BPS juga mencatat bahwa angka kemiskinan meningkat terbesar di pulau Jawa, kemudian Sumatera, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Papua serta Kalimantan. Jumlah penduduk miskin pada September 2013 sebesar 28,55 juta orang atau 11,47 persen, jika dibandingkan Maret 2013 maka jumlah tersebut mengalami peningkatan sebanyak 480 ribu orang.
            Kedua, jika politik dipahami  sebagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara maka saat ini masih sering kita jumpai berbagai praktek penyimpangan kekuasaan (abuse of power) yang terjadi baik di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Salah satu contoh adalah praktek korupsi yang masih menggurita hingga saat ini. Sebagaimana hasil survei Transparansi Internasional (TI), sebuah organisasi non profit yang memiliki perhatian khusus dan kerap melakukan survei soal korupsi, yang pada akhir tahun lalu  mengeluarkan daftar terbaru indeks persepsi korupsi tahun 2013. Hasilnya menunjukkan bahwa Indonesia berada di posisi ke-114 dengan indeks persepsi 32. Posisi ini sangat jauh bila dibandingkan dengan posisi Singapura, yang menjadi satu-satunya negara Asia bertengger di posisi ke-5 dengan indeks persepsi 86.
            Temuan Global Corruption Barometer 2013 (GCB 2013) menempatkan parlemen dan partai politik sebagai lembaga yang korup dalam persepsi dan pengalaman masyarakat. Parlemen menduduki peringkat kedua terkorup (setelah Kepolisian) dari 12 lembaga publik yang dinilai. Sementara partai politik berada pada peringkat ke-4 terkorup. (sumber: www.ti.or.id)
            Ketiga, jika politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat maka hal sangat terkait dengan proses penyelenggaraan pemilihan umum (PEMILU) baik pemilu legislatif maupun eksekutif. Sudah menjadi asumsi publik bahwa hingga saat ini pelaksanaan pemilu di negeri ini masih carut marut dengan berbagai praktek pelanggaran di dalamnya. Pada Pemilu Legislatif bulan April lalu misalnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat jumlah pelanggaran yang terjadi mencapai 3.507 kasus. Dari jumlah tersebut, 209 pelanggaran masuk kategori pidana, sedangkan 3.238 merupakan pelanggaran administratif. Selain itu, ditemukan juga pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara pemilu sebanyak 42 kasus.
            Berbagai kasus pelanggaran Pemilu (electoral fraud) yang terjadi antara lain, adanya berbagai praktik kecurangan seperti politik uang (money politik), penggelembungan suara, penggunaan fasilitas negara saat kampanye, kampanye di luar jadwal, pelanggaran kode etik dan pelanggaran administratif lainnya. Indonesia Indicator (I2) –sebuah lembaga riset berbasis piranti lunak Artificial Intelligence (AI) untuk menganalisis indikasi politik, ekonomi, sosial di Indonesia melalui pemberitaan (media mapping) mengungkapkan bahwa selama pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014 yang lalu pelanggaran yang terjadi didominasi oleh kasus politik uang, ini tentu realitas yang menyedihkan bagi masa depan demokrasi kita.
            Selain tiga hal di atas, sesungguhnya masih banyak ‘pekerjaan rumah’ politik (baca: aktor politik) yang harus diselesaikan demi mewujudkan cita-cita pendiri bangsa dan negara ini. Harapan kita, di tengah hiruk pikuk pesta demokrasi yang sedang berlangsung saat ini, jangan sampai kita salah kaprah dengan menguras tenaga bahkan melalui segala cara untuk menjatuhkan ‘lawan politik’ tapi malah lupa dengan ‘musuh politik’ yang seharusnya dibasmi bersama. Padahal idealnya, kita harus melawan musuh, tapi tidak boleh memusuhi lawan!



Minggu, 01 Desember 2013

SEPENGGAL CERITA DI KAMPUS TUA

                Siang itu, mataku terpaku menatap kosong halaman kampus yang berada tepat di depanku. Halaman yang boleh dibilang sangat kecil untuk sebuah perguruan tinggi Islam negeri satu-satunya di pulau Madura. Disekelilingnya berdiri beberapa pohon cemara dan akasia dengan diselingi beberapa batang pohon Pinang yang tak berbuah. Rumputnya pun terlihat mulai meninggi dibeberapa bagian, sementara dibagian yang lain terlihat tanah becek akibat anak-anak warga tetangga kampus yang biasanya sengaja datang bermain bola di sore hari. 
Halaman itu terlihat semakin sempit dengan berdirinya pot-pot semen ‘raksasa’ untuk ukuran pohon bunga di dalamnya yang masih kecil. Disekitarnya berdiri bangunan-bangunan tua yang konon telah melahirkan generasi-generasi intelektual atau alumni yang tersebar diberbagai daerah tidak hanya di Pulau Garam ini tapi juga hingga ke seberang pulau, termasuk guruku sendiri yang saat ini mengelola pesantren tempatku menimba ilmu sebelumnya di Kalimantan Barat. Yah, dari beliaulah aku tahu adanya kampus ini, dan mungkin itulah salah satu alasan mengapa aku berada disini saat ini. Padahal melihat dari daerah asalku nun di pulau Kalimantan, terdengar sedikit aneh aku bisa memilih sebuah kampus ‘kecil’ yang berada hampir di tengah pulau yang terkenal beraroma keras ini. Bahkan pernah suatu ketika saat aku hendak membuat buku rekening tabungan di salah satu bank, petugas bank tersebut mengernyitkan dahi saat kutunjukkan kartu pelajarku.
“Kenapa mbak? Ada yang aneh?” tanyaku penasaran.
“Nggak, Cuma heran aja, kok bisa dari Kalimantan kuliah disini!” jawab teller bank yang kemudian kuketahui bernama Yanti dari papan yang ada dimejanya.
“Padahal sebelum sampai sini kan lewat Surabaya dulu, disana banyak perguruan tinggi yang lebih besar, atau di Malang yang terkenal sebagai kota pelajar”, lanjutnya.
Aku pun hanya bisa tersenyum kecut mendengarnya. Bukan karena tidak mengerti alasanku kuliah disini, justru karena aku tahu persis alasan-alasan itu yang menurutku memang ‘aneh’ dan biarlah aku saja yang mengetahuinya. Apalagi ketika mendengar nama kota terakhir yang disebut teller bank tadi, Malang.
Ya, kota pelajar yang terkenal bersuhu dingin itu. Ketika baru memasuki semester kedua di kampus ini, aku sempat berniat pindah kuliah ke kota apel itu. Hal itu terjadi sepulangnya aku mengunjungi temanku yang sedang kuliah di sana. Jujur aku terpesona dengan suasana di kandang Singo Edan itu. Bukan saja keindahan alam dan kesejukan hawanya, tapi juga hiruk pikuk mahasiswanya yang begitu mewarnai wajah kota. Sehingga ketika berada didalamnya, aku betul-betul merasakan nuansa ilmu pengetahuan di samping aroma ‘pergaulan khas’ muda-mudi sebagaimana lazimnya disetiap daerah yang dikenal sebagai kota pelajar.
Di saat yang sama, dimasa-masa awal aku menjalani perkuliahan di kampus yang oleh kawan-kawan  seringkali dijuluki ‘kampus mewah’ ini (bukan mewah dalam arti sesungguhnya, tapi akronim dari ‘mepet sawah’ karena posisinya yang memang bersebelahan dengan ladang tembakau), marak sekali aksi-aksi demonstrasi yang (katanya) dipelopori oleh teman-teman seangkatanku (angk. ’99) dimana penyebab awalnya berkaitan dengan ketidakpastian izin penyelenggaraan salah satu jurusan yang memang baru dimulai. Bukan hanya unjuk rasa biasa, kami bahkan sempat menyegel semua pintu kelas sehingga perkuliahan ditutup selama dua minggu, dan puncaknya adalah ketika kami membakar petasan di ruang Pembantu Ketua I sebagai aksi intimidasi agar tuntutan kami disetujui. Meskipun aksi-aksi tersebut kemudian dianggap berhasil, namun tak bisa dipungkiri, selama semester pertama dan kedua itu, efektifitas perkuliahan menjadi sangat terganggu.
Itulah beberapa alasan yang membuatku pernah ingin ‘hengkang’ dari kampus ini. Namun saat ini, memasuki saat-saat akhir aku belajar disini, tepatnya semester VII, dimana aku sudah hampir menyelesaikan tugas skripsiku, perasaan itu telah benar-benar berubah. Aku sangat menikmati dan bahkan bersyukur telah memilih bertahan kuliah disini. Biarpun lokasi kampusnya kecil, tapi aku mulai sadar, karena itulah silaturrahim diantara kami mudah tersebar. Hampir semua mahasiswa saling mengenal, meskipun hanya saling mengingat wajahnya. Walaupun jumlah mahasiswanya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan kampus besar, justru dengan begitu persaingan terasa longgar. Terutama dalam mengikuti aktifitas yang dilaksanakan oleh organisasi intern kampus. Bahkan pada saat yang sama, terkadang aku bisa aktif dalam beberapa organisasi dan mengisi dua sampai tiga jabatan ‘strategis’ sekaligus. Dari organisasi pula, aku kemudian mengenal sahabat-sahabat yang luar biasa, seperti syamsi, atoup, udin, mail, bonks, yudi, ucen, asbul, sinal, doil, kus, aan, sakin, ning, lilik dan lain-lain yang tak mungkin kusebutkan semua. Last but not least, yang paling utama dari semua alasanku bertahan adalah bahwa disinilah aku mengenal seorang mahasiswi classmate-ku yang kemudian menjadi kekasihku hingga detik ini.
 Dan saat ini, aku duduk gelisah didepan ruang Kantor Jurusan Syari’ah, dimana didalamnya kekasihku itu sedang berjuang mempertahankan hasil penelitiannya dalam sidang ujian skripsi. Aku gelisah bukan saja khawatir ia akan kesulitan dalam mempertanggung jawabkan tugasnya, tapi lebih dari itu aku mengkhawatirkan kemarahannya atau lebih tepatnya kecemburuannya padaku akibat kejadian dua jam yang lalu akan membuat emosinya labil, konsentrasinya buyar, dan akhirnya hasil ujian pamungkasnya sebagai mahasiswa menjadi berantakan. Dalam gelisahnya penantian, peristiwa dua jam lalu itu pun kembali terulang dalam memori ingatanku.

*  *  *

Sudah beberapa bulan terakhir ini aku menempati ruangan 3x5 meter berdinding putih ini. Ruangan yang dahulunya merupakan bagian dari ruangan perpustakaan kampus ini telah disulap menjadi studio Radio Nuansa FM. Radio mahasiswa pertama milik STAIN Pamekasan yang mengudara di gelombang 92,05 fm ini merupakan hasil ‘perjuangan’ kami (doil dan aku yang saat itu menjadi pengurus di DEPKOMINFO eh, DEPKOMFOS BEM 2002-2003) bersama teman-teman BEM lain yang sebelumnya sempat ditolak oleh pihak senat kampus. Setelah melalui beberapa kali lobi dan sedikit ‘tekanan’ akhirnya turunlah anggaran pengadaan radio yang aku tanda tangani sendiri kwitansinya. Walaupun setelah itu satu sen pun aku sendiri tidak pernah tau rincian pengeluarannya karena sudah dikelola oleh pimpinan BEM langsung. Singkatnya, akupun dipercayai untuk bertanggung jawab atas operasional radio ini. Setiap pagi pukul 04.30 WIB aku sudah harus menghidupkan mesin pemancar, dan mematikannya setiap malam sehabis siaran. Selain menjadi salah satu penyiar di salah satu segmen, aku juga yang bertugas mengganti lagu sesuai segmen jika petugas siar berhalangan atau terlambat datang. Dengan tugas-tugas tersebut, agar lebih efektif dan efisien (maksudnya menghemat dana anggaran ngontrak kos-kosan) maka akupun sekalian tinggal di ruangan yang cukup beresiko radiasi ini.
Pagi itu, aku sedang membereskan beberapa buku yang akan digunakan pacarku, sebut saja Ayu, untuk sidang ujian skripsinya nanti siang. Tiba-tiba datang beberapa mahasiswa adik kelas yang berkunjung. Mereka adalah Baihaqi –aktifis angkatan 2001, bersama teman-temannya.
“Ada apa nih? Kok tumben datangnya rombongan?” tanyaku setelah sebelumnya berbasa-basi.
“Begini, kami mau minta pendapat menyikapi peristiwa seputar perpolitikan di kampus kita akhir-akhir ini,” jawab Baihaqi yang menjadi ‘juru bicara’ teman-temannya saat itu.
Memang, beberapa hari sebelumnya terjadi satu peristiwa yang mungkin baru pertama kali dalam sejarah organisasi mahasiswa di kampus ini. Musyawarah tertinggi mahasiswa yang melibatkan perwakilan dari seluruh elemen organisasi kemahasiswaan baik eksekutif (BEM, UKM dan HMJ) maupun legislatif (DPM) itu tiba-tiba buyar karena masuknya sekelompok mahasiswa yang tidak jelas mewakili elemen yang mana. Akibatnya sidang pun deadlock bahkan bubar. Pasca peristiwa tersebut, kemudian muncul berbagai sinyalemen dan asumsi dikalangan mahasiswa khususnya aktifis kampus akan motif pembubaran tersebut. Salah satunya adalah adanya dugaan dan isu bahwa pembubaran tersebut memang direkayasa oleh ketua BEM sendiri agar bisa berkuasa lagi diperiode berikutnya. Padahal ditengarai pada masa kepemimpinannya, lembaga intern mahasiswa yang seharusnya netral dari politik praktis di luar kampus tersebut telah disalah gunakan untuk mendukung salah satu calon pemerintah daerah yang sedang bertarung saat itu. Hal ini tentu menciptakan suasana yang semakin ‘panas’ di kalangan adik kelas yang lazimnya mendapat ‘giliran’ untuk memimpin lembaga eksekutif tertinggi di tingkat kemahasiswaan tersebut. Meskipun aku adalah bagian dari kepengurusan BEM saat itu, namun sebagian adik kelas ada yang menganggapku masih di posisi yang netral dari abuse of power itu, sehingga sesekali ada mahasiswa yang meminta pendapatku dalam menyikapi kemelut tersebut.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Baihaqi, tiba-tiba masuk seorang mahasiswi yang dikenal paling vokal di angkatannya. Sebut saja namanya Gadis. Mahasiswi manis dan mungil tapi lincah dan energik yang merupakan adik kelas satu tingkat dariku. Akhir-akhir ini kami memang cukup sering bertemu dan berkomunikasi. Selain berdiskusi tentang organisasi, kami sering ngobrol seputar radio dimana dia juga salah satu penyiarnya. Karena itu pula, tak bisa dihindari jika kemudian ada selentingan kabar yang mengatakan adanya hubungan spesial di antara kami berdua.
Obrolan yang berlangsung di lorong yang menghubungkan studio radio dengan kantor BEM itu pun menjadi semakin seru dengan bergabungnya Gadis. Apalagi dengan gayanya yang ceplas ceplos dan humoris tak jarang suara tawa kami pun tak terhindarkan. Setelah hampir satu jam kami berdiskusi, Baihaqi yang juga berasal dari satu daerah denganku bersama teman-temannya pun pamit. Tinggallah aku dan Gadis melanjutkan obrolan. Berbagai topik silih berganti kami bahas, hingga tiba-tiba muncullah seorang wanita yang sangat kukenal, sosok yang sudah setahun lebih menjadi kekasihku. Dengan wajah terlihat marah, tanpa babibu ia langsung menerobos masuk melintasi kami berdua ke dalam ruang radio lalu mengemasi buku-buku untuk sidang ujian skripsinya. Memang, sesuai jadwal, siang ini dia akan mengikuti sidang di ruang Jurusan Syari’ah.
Melihat gelagat yang kurang enak, aku langsung minta maaf kepada Gadis untuk meninggalkannya dan segera menyusul kekasihku itu. Aku sadar dan tidak bisa menyalahkan jika dia marah melihatku duduk berdua saja dengan seorang wanita di ruangan yang relatif tertutup. Apalagi wanita itu adalah orang yang diisukan memiliki ‘kedekatan’ khusus denganku. Aku pun jadi serba salah.
“Please, jangan berfikiran yang bukan-bukan tentangku!” aku berusaha menenangkan.
“Tadi awalnya kami tidak berdua, tapi....”, belum selesai kalimatku mencoba menjelaskan, tanpa sepatah katapun ia sudah bergegas keluar ruangan sambil membawa tas besar penuh berisi buku. Aku pun lalu mengambil beberapa buku yang tersisa karena tasnya tidak muat lagi dan segera menyusul langkahnya dengan tergesa-gesa.       
    
*  *  *

Satu jam sudah aku duduk dengan fikiran tak menentu dalam penantian. Menanti kapan selesainya sidang ujian skripsi Ayu. Menanti berapa hasil ujian yang akan diperolehnya. Menanti sikap apa yang akan ditunjukkannya kepadaku, masih marah, kesal, tidak mau bicara, atau apa?
Kalau dikilas balik, selama satu tahun lebih hubungan kami, memang bisa dikatakan seringkali diwarnai pertengkaran kecil. Sifat kami yang sama-sama keras dan tak mau mengalah tak jarang memunculkan benturan-benturan. Beruntung waktu pertemuan kami dibatasi oleh status Ayu yang tinggal di Pesantren. Sehingga kami dapat berkomunikasi langsung hanya di jadwal perkuliahan saja, selebihnya hanya jika ada kegiatan organisasi, itupun jika ia mengantongi izin dari pengurus pesantren. Logikanya, kalau jarang bertemu maka jarang berkomunikasi, dan berkuranglah potensi konflik di antara kami. Tapi negatifnya, kalau diantara kami masih tersimpan masalah yang belum terselesaikan, maka selama tidak bertemu itu pula hari-hari jadi terasa begitu menyesakkan.
Jika dirunut lagi kebelakang, awal hubungan kami pun cukup unik. Berawal dari kesamaan nasib, yaitu sama-sama anak rantau. Aku berasal dari ujung barat pulau Kalimantan dan Ayu dari ujung timur pulau Jawa. Lalu kami bertemu di tengah-tengah pulau Madura, yaitu Pamekasan. Kami pun seringkali saling curhat ketika ada masalah, atau saling menguatkan ketika rasa rindu keluarga mulai membuncah.
Anehnya, dimasa-masa kedekatan sebagai teman biasa itupun sebenarnya kami sudah kerap terlibat dalam konflik-konflik ringan. Tapi yang lebih aneh lagi, jika beberapa hari tidak bertemu hati kami segera diliputi kerinduan. Tidak sekali dua kali kami diisukan pacaran, tapi kami selalu membantah, karena kami merasa memang tidak pernah ada ikatan khusus kecuali persahabatan. Meskipun sejujurnya kuakui bahwa sebenarnya aku takut kehilangan dia, tapi hati kecilku masih ragu apakah dia punya perasaan yang sama. Sementara nyaliku masih terlalu ciut untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Hingga pada suatu saat, karena desakan teman-teman dekatku, aku pun memberanikan diri ‘menembak’ nya ketika kami dan teman-teman berkunjung ke pantai saat menjelang liburan panjang. Singkat cerita, kamipun ‘jadian’ hingga saat ini.
“Alhamdulillah, sudah selesai!” suara Ayu tiba-tiba menyadarkanku dari lamunan. Belum sempat aku membalikkan badan ternyata dia sudah berdiri di hadapanku.
“Bagaimana hasilnya?” tanyaku penasaran.
“Aku dapat nilai A!” balasnya dengan senyum mengembang menambah aura manis di wajahnya yang tampak sangat sumringah. Satu persatu kekhawatiranku nampaknya mulai runtuh. Tapi bagaimana dengan sikapnya tadi saat melihatku berdua dengan Gadis? Apakah juga sudah mencair bersama euforia keberhasilannya dalam ujian? Aku masih penasaran.
“Syukurlah, selamat ya say...”, ucapku sambil mengulurkan tangan. Ia pun menjabat tanganku dengan hangat seakan-akan tidak ada masalah apa-apa sebelumnya.
“Aku minta maaf masalah yang tadi, aku...”.
“Sudahlah! Aku percaya kok sama kamu, tadi aku terbawa emosi aja, biasalah”.
“Terimakasih sayang, kepercayaanmu akan menjagaku!”
“Oya, untuk merayakan keberhasilanku, bagaimana kalo aku traktir kamu makan?”
“Ok bos, siapa takut! Tapi ngomong-ngomong kita makan dimana?”
“Ya biasalah, dimana lagi kalo bukan di warung Bu Nan, ‘restoran’ favorit mahasiswa STAIN...!”
“Hahaha...” Kami pun tertawa bersama. Menertawakan kehidupan yang terkadang berjalan di luar yang kita rencanakan atau yang kita takutkan, tapi terkadang justru itulah sesungguhnya yang kita butuhkan.


Singkawang, 30 November 2013

Catatan: 
Terimakasih untuk Kang Dhoil yang telah menginspirasi saya melalui sajaknya di (https://www.facebook.com/notes/doil-lennyornek/stain-jl-brawijaya-no-5-pamekasan-bag-i/10151955013429191?ref=notif&notif_t=note_tag) sehingga lahirlah cerita sederhana ini. semoga suatu saat kita bersama alumni yang lain bisa bersua kembali di Auditorium 'STAIN Brawijaya' untuk menapak tilasi jejak-jejak masa lalu untuk menginspirasi masa depan...

















Sabtu, 30 November 2013

LEARN TO LIFE TOGETHER

Di abad yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, sebuah kejadian dengan sangat cepat menyebar keseluruh penjuru dunia. Penyebaran informasi yang radikal dan global dengan tidak mempertimbangkan kondisi tertentu di suatu daerah, mendorong menguatnya kepentingan identitas dalam pengertian luas, seperti identitas ekonomi (kaya-miskin), politik (nasionalis-sektarian), etnis, agama, adat istiadat, bahasa dan lain-lain. Kepentingan identitas semakin mengkristal menyusul adanya pertarungan antara berbagai kepentingan untuk merebut posisi dominan. Akhirnya konflik pun menjadi sebuah keniscayaan.

Konflik sesungguhnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah peradaban manusia. ia merupakan bagian dari realitas sejarah yang usianya relatif hampir sama dengan usia keberadaan manusia itu sendiri. Karena secara intrinsik, sejak manusia dilahirkan telah membawa berbagai macam perbedaan antara satu dengan lainnya, sehingga konflik pun inheren di dalamnya. Menurut Taquiri dalam Newstorm (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang dapat terjadi dalam berbagai keadaan sebagai akibat dari munculnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih secara terus menerus.

Pada hakikatnya, konflik tidak hanya diartikan sebagai suatu pertentangan yang meluas (escalation) dari dua atau lebih individu/kelompok sosial, atau situasi pertentangan yang secara fisik mudah dilihat secara kasat mata seperti berlangsungnya pertikaian, pertengkaran, kekerasan sosial, kerusuhan dan lain sebagainya. Tapi suatu ketidak sesuaian, kesenjangan, dan pertentangan yang tidak terdeteksi oleh kasat mata (latent conflict) juga dapat diartikan sebagai sebuah konflik. Tak jarang, dari konflik laten yang tidak dikelola dengan baik inilah melahirkan konflik yang meluas bahkan dalam bentuk kekerasan fisik.

Secara intrinsik –selain karena adanya perbedaan, menurut hemat penulis ada beberapa hal mendasar yang menjadi pemicu (trigger) timbulnya konflik, antara lain: pertama, adanya rasa inferioritas (merasa lebih kecil, rendah, minoritas dll.) dan superioritas (merasa lebih kuat, hebat, besar dll.) dalam suatu individu ataupun kelompok. Rasa inferioritas dan superioritas ini jika sudah akut akan melahirkan sebuah penindasan di satu sisi dan atau pemberontakan di sisi yang lain.

Kedua, adanya logika hitam putih atau klaim diri paling benar sehingga yang lain pasti salah. Logika ini pada kondisi normal tidak begitu berbahaya, tapi pada kondisi yang ekstrim terkadang mengarah pada asumsi bahwa yang dianggap salah harus dimusuhi atau bahkan dilenyapkan. Keyakinan seperti ini seringkali menjadi legitimasi seseorang/kelompok untuk melakukan kekerasan baik atas nama pribadi atau kelompok. Dua sebab yang menjadi pemicu tersebut kemudian semakin potensial ketika berada dalam iklim hukum yang tidak adil, kemakmuran yang tidak merata, serta adanya kelompok-kelompok yang sengaja mencari keuntungan dari adanya konflik tersebut (mengail di air keruh).

Sebenarnya faktor-faktor pemicu konflik di atas bisa dieliminir seandainya di jembatani dengan adanya sebuah dialog yang dialogis, yaitu dialog yang tidak hanya sekedar perjumpaan antar individu atau kelompok (artifisial-akademis), melainkan adanya upaya saling mengetahui pihak lain secara lebih mendalam, sehingga melahirkan pemahaman akan keunikan/kekhasan masing-masing. Pemahaman ini akan berimplikasi pada sikap saling pengertian, saling menghormati dan menghargai (toleransi).

Masalahnya adalah bahwa dialog yang demikian terkadang hanya tumbuh subur di kalangan masyarakat yang berpendidikan. Di masyarakat awam yang notabene berpendidikan rendah, dialog biasanya kurang mendapat tempat yang layak. Ketika terjadi suatu masalah, penyelesaiannya bukan menggunakan otak tapi langsung otot. Meskipun demikian, penyelesaian masalah/konflik secara fisik ini ternyata tidak hanya menjadi trade mark masyarakat awam. Buktinya, seringkali kekerasan terjadi justru di kalangan terpelajar bahkan kaum elit intelektual, seperti mahasiswa, anggota legislatif dan lain-lain. Jadi, sebenarnya apa yang salah dengan sistem pendidikan kita?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, barangkali kita harus kembali pada empat aspek pendidikan menurut UNESCO, yaitu  Learn to know (kognitif)  Learn to be (afektif)  Learn to do (psikomotorik)  Learn to life together (toleransi). Selama ini, sistem pendidikan di sekolah kita lebih mengedepankan tiga aspek yang pertama dan melupakan yang terakhir, yaitu pembelajaran untuk bersatu dalam perbedaan (unity in variety) atau pendidikan pluralisme. ‘Pluralisme’ disini diartikan sebagai suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain terlepas dari perbedaan yang ada.

Karena itu, langkah awal yang harus dilakukan adalah mengubah paradigma pendidikan yang selama ini dirancang secara sentralistik dan monolitik serta mengabaikan keanekaragaman etnis, budaya dan adat istiadat yang ada. Pendidikan secara khusus harus menjadi salah satu aktor kunci penciptaan budaya perdamaian dengan menumbuhkan solidaritas sosial, penghargaan atas keanekaragaman bangsa dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Pendidikan harus dirancang agar menghasilkan lulusan yang mampu memahami dan menerima berbagai perbedaan yang ada.

Pendidikan merupakan sarana vital bagi perdamaian karena beberapa alasan. Pertama, kekerasan berawal dari pikiran manusia. Kedua, penelitian menunjukkan bahwa kekerasan terkadang merupakan sifat yang diturunkan. Jadi, budaya perdamaian juga merupakan sesuatu yang harus dan dapat dipelajari sama dengan mata pelajaran lain yang selama ini diajarkan di sekolah. Dengan demikian diharapkan akan muncul generasi masa depan yang saling memahami dan menghormati perbedaan yang ada tanpa harus kehilangan identitas atau keunikan dirinya masing-masing.

Sabtu, 21 Juli 2012

DALAM DEKAPAN JILBAB



“Gimana Ver, bisa kan tampil untuk show minggu depan?” Tanya Erwin dari seberang telepon.
Vera yang belum siap menjawab pertanyaan itu hanya terdiam. Pikirannya masih melayang ke suatu wilayah yang ia sendiri tak tahu dimana. Suatu kondisi yang selama ini bertolak belakang dari orientasi aktifitasnya tapi akhir-akhir ini begitu menghantuinya. Setiap pikiran itu datang hatinya merasa kosong, jiwanya terasa hampa.
“Halo, Ver! Kok diam?” desak Erwin. “It’s a big show honey, don’t make me disappointed”.
“Sorry Win, aku lagi badmood nih, tapi aku akan kasi jawaban secepatnya kalo udah siap.  Please, ngertiin aku saat ini, ok!” balas Vera seraya menutup panggilan Erwin di ponselnya.
Vera menghempaskan tubuhnya yang seksi ke tempat tidur di apartemennya yang lumayan mewah. Sambil menarik nafas dalam-dalam matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya kembali menerawang. Bayangan masa lalunya tiba-tiba menyeruak memenuhi rongga otaknya.
Tujuh tahun lalu ia hanyalah seorang gadis kampung ingusan yang memberanikan diri merantau ke kota akibat desakan ekonomi keluarga. Sejak ayahnya  meninggal dunia, ibunya yang sudah renta praktis menjadi tulang punggung keluarga menanggung biaya hidup dan pendidikan dirinya dan tiga orang adiknya. Sebagai anak tertua hatinya merasa terpanggil untuk membantu meringankan beban yang ditanggung ibunya. Akhirnya, berbekal ijazah SMA ia memutuskan untuk merantau ke ibukota  meski tak tahu mau bekerja apa. Ia merasa beruntung karena Tuhan menganugerahinya wajah yang cantik dan tubuh yang tinggi nan seksi. Sehingga tanpa memakan waktu yang terlalu lama, perkenalannya dengan Erwin, seorang desainer ternama mengantarnya menjadi seorang model kelas atas dengan bayaran mahal. Yah, gadis kampung lugu bernama Salma Maghfira itu kini telah ber’metamorfosis’ menjadi salah seorang top model ibukota yang lebih dikenal dengan nama Vera Melati.
Vera kembali menarik nafas dalam. Tiba-tiba terlintas wajah ibu dan adik-adiknya yang sedang bersiap-siap melaksanakan shalat tarawih di masjid kampungnya, sebagaimana yang tentunya ia juga lakukan dulu saat masih bersama mereka. Entah sudah berapa kali Ramadhan ia alpa. Puasa, shalat  dan ibadah lainnya hanya menjadi bagian dari masa lalunya. Masa yang kini mulai dirindukannya lagi.
“Fir, jangan lupa shalat ya…” terngiang selalu pesan ibunya setiap kali ia pamit hendak kembali ke kota saat pulang kampung.
“Iya bu, ibu tenang aja,” Jawabnya tanpa dosa.
Padahal, alih-alih melaksanakan shalat, hari-harinya hanya disibukkan dengan pekerjaan. Orientasinya hanya uang, uang dan uang. Tujuan hidup yang sebenarnya sudah kabur, tertutupi oleh sikap hedonis dan glamour.  Ia sudah merasa puas asal bisa memenuhi segala keinginannya, apalagi sudah bisa membangun rumah untuk ibu dan adiknya di kampung serta membiayai pendidikan mereka. Ia sudah benar-benar hanyut dalam arus kehidupan barunya.
Tapi akhir-akhir ini ada perasaan aneh menyelinap dalam dirinya. Momentum puasa kali ini telah mengetuk kesadaran akan spiritualitasnya yang hampa. Bayang-bayang dosanya menguap lalu melayang-layang di depan matanya. Tiba-tiba bayangan kematian menyergapnya dalam ketakutan tak terhingga. Bagaimana jika umurku berakhir saat aku bergelimang dosa? Aku ingin bertobat, tapi apakah Tuhan berkenan mengampuni pendosa sepertiku? Pikirannya mulai cemas, ragu dan bimbang.
Sebenarnya ia sadar, pekerjaanya sebagai model bagi sebagian masyarakat bukanlah hal yang tabu, tapi ia juga menyadari bahwa ia dibayar bukan hanya karena busana yang ia pakai, tapi juga karena kemolekan sebagian tubuhnya yang ia pertontonkan. Apalagi untuk melepaskan diri dari Erwin juga bukan perkara mudah. Baginya, Erwin bukan hanya sang desainer, tapi juga seorang manajer, bahkan lebih dari itu ia tak sanggup menolak jika pria itu ingin merasakan tubuhnya.
Ah, saat ini aku masih membutuhkan banyak uang, kalau aku berhenti dari pekerjaanku sekarang, lalu aku dapat uang dari mana? Bisik hatinya lirih. Padahal adiknya masih sekolah, bahkan sudah ada yang kuliah, dimana semua biayanya sebagian besar menjadi tanggung jawabnya. Sementara uang pensiunan almarhum ayahnya hanya cukup untuk makan, itupun pas-pasan.
Saat ia larut dalam dilema, tiba-tiba ponselnya berdering.
“Aslm. Gimana Ver, jadi nggak ikut ‘kuliah dhuha’ besok?” rupanya sms dari Ulfa, teman yang dikenalnya secara tak sengaja di bandara setahun lalu.
Vera baru ingat bahwa ia pernah basa basi ke Ulfa kalau ia ingin ikut ke pengajian yang rutin di ikuti temannya itu setiap hari minggu pagi selama bulan Ramadhan. Sebenarnya ia sama sekali tak serius dengan perkataannya saat itu, bahkan setengah menyindir temannya itu karena baru diketahuinya telah menjadi jilbaber sejak beberapa bulan yang lalu. Bahkan sebagai konsekwensi dari keputusannya itu, ia rela keluar dari pekerjaanya selama ini sebagai pramugari di salah satu maskapai ternama.
Vera sempat bingung, jangankan ikut pengajian, setelah sepuluh hari Ramadhan tahun ini berlalu, seharipun ia belum pernah berpuasa. Tapi nggak ada salahnya kali ini aku ikut, sekalian cari pikiran segar ditengah kegalauan jiwaku belakangan ini, pikirnya.
“Ok, besok tunggu aku di rumahmu, kita berangkat sama-sama,” balasnya segera.

* * *
Cahaya matahari pagi mulai menyengat. Embun di dedaunan pun mulai mengering. Di bulan puasa, terutama di hari libur akhir pekan seperti ini suasana masih terasa sangat sepi. Sebagian orang masih larut dalam tidur mereka sehabis shalat shubuh. Tapi Nadia Ulfa sudah sibuk berkemas di rumahnya yang asri. Sebenarnya di bulan puasa ini ia tidak sesibuk di luar bulan puasa, karena tidak perlu menyiapkan sarapan pagi untuk suami dan anak semata wayangnya,. Tapi pagi ini ia akan pergi ke pengajian rutin minggu pagi di Masjid yang berlokasi tidak terlalu jauh dari rumahnya.
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum Salam!” jawab Ulfa. “Oh.. Vera, apa kabar? Silahkan masuk!”
“Alhamdulillah baik, terima kasih.” Balas Vera seraya masuk kedalam rumah. “Pagi-pagi sudah sudah sibuk nih! Apa nggak takut capek, kan lagi puasa?”
“Puasa kan bukan alasan untuk bersikap lemah, apalagi dalam melakukan kebaikan. Semua pekerjaan yang baik kalau kita niatkan ibadah, insya Allah mendapat pahala. Termasuk mengurus rumah, suami dan anak.” Jelas Ulfa. “Kalau Vera gimana? Kapan ngurus suami dan anak?” lanjutnya setengah menyindir.
Vera yang tak menyangka mendapat pertanyaan seperti itu tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Bukan hanya karena jawaban Ulfa tentang aktifitas saat puasa tapi juga pertanyaan tentang rumah tangga. Jangankan suami dan anak, mengurus diri sendiri saja ia merasa belum beres. Ia jadi teringat kembali bahwa ibunya pernah menyinggungnya dengan mengatakan sudah tidak sabar ingin menimang cucu. Seketika Vera sadar, bahwa ia tak muda lagi, sebentar lagi usianya sudah kepala tiga. Teman-teman sekolahnya rata-rata sudah berkeluarga, bahkan ada yang sudah punya anak tiga. Sebenarnya terpikir juga olehnya ingin punya suami yang baik dan shaleh seperti Ulfa, tapi laki-laki shaleh mana yang mau sama perempuan seperti dirinya?
“Ah… kamu ada-ada saja. Oh ya apa aktifitas kamu sekarang?” Vera mengalihkan topik pembicaraan.
“Selain mengurus rumah tangga, aku berjualan jilbab dan busana muslimah lainnya, sementara kalau pagi aku mengajar di Taman Kanak-kanak.”
“Sampai saat ini aku masih nggak ngerti, kok bisa-bisanya kamu berhenti jadi pramugari hanya karena jilbab. Padahal hari gini susah lho cari pekerjaan dengan gaji besar apalagi bisa sekalian jalan-jalan. Apa sebanding dengan penghasilan yang kamu dapat sekarang?”
“Rezeki itu tidak bisa dinilai dari nominalnya saja, tapi keberkahannya dan rasa syukur kita. Banyak orang yang kita anggap melimpah harta ternyata dia masih merasa kekurangan, dan tidak sedikit yang kelihatannya sederhana tapi ia bahagia dan bersyukur.”
“Memang awalnya agak sulit bagiku untuk memilih antara pekerjaan dan jilbab, tapi sekarang aku bersyukur dengan keputusanku, apalagi aku jadi punya waktu cukup untuk keluargaku,” lanjut Ulfa.
 Vera sempat tertegun sejenak. Ia mulai merasakan kebenaran dalam kata –kata Ulfa. Harta dan kebahagiaan ternyata tidak selalu satu paket, bahkan terkadang saling menegasikan. Karena kebahagiaan sesungguhnya bersumber dari hati yang ikhlas akan setiap kondisi yang dialami dan keyakinan akan takdir Ilahi.
“Kok melamun? Kita berangkat aja yuk… nanti kita terlambat, sayang sekali kalau ketinggalan materi pengajian,” ajak Ulfa membuyarkan lamunan Vera.
“Oh ya..ya.. ayo!” sahut Vera gelagapan.

* * *
Suara orang tadarus Al-Quran masih terdengar sayup-sayup dari pengeras suara di masjid. Malam pun semakin beranjak larut. Meski sudah berusaha memejamkan matanya, Vera tetap tak bisa lelap. Otaknya masih terus memikirkan pengajian yang ia ikuti tadi pagi. Ia mengakui bahwa ustadz yang menyampaikan materi memang tampan dan kata-katanya mengalir bijaksana. Sempat terbayang dalam benaknya betapa bahagianya seandainya pria itu bisa menjadi imam bagi dirinya. Meskipun ia juga berpikir bahwa orang seperti dirinya mungkin tak pantas untuk itu, tapi setidaknya membayangkan saja Vera sudah senang.
Lebih dari itu sebenarnya materi yang disampaikan ustadz tersebutlah yang lebih mengusik perasaannya saat ini. Jiwanya sangat tersentuh dengan dalil-dalil tentang taubat yang didengarnya. Ia semakin yakin akan keputusan yang harus segera diambil dan menurutnya tidak ada alasan untuk menundanya lagi. Apalagi saat ini masih dalam momentum Ramadhan. Bulan yang penuh berkah, rahmah dan maghfirah Allah SWT.
Tiba-tiba Vera dikagetkan oleh suara panggilan di ponselnya, rupanya dari Erwin. Sejenak ia sempat ragu, tapi dengan ucapan bismillah akhirnya ia angkat juga.
“Hallo Vera sayang, sudah ada jawaban kan?”
“Insya Allah aku bisa, tapi dengan satu syarat!”
“Oh begitu ya, memang apa syaratnya?”
“Aku bersedia tampil hanya jika mengenakan jilbab!”
“Hah! Kamu serius? Apa aku tidak salah dengar?” Erwin tak percaya.
“Tidak, aku sangat serius, jika kamu tidak setuju, sebaiknya cari model lain saja,” tegas Vera. “Oh ya, kamu pikir aja dulu, maaf aku sudah ngantuk banget nih, assalamualaikum!” lanjutnya mengakhiri percakapan.
Vera sudah mantap dengan keputusannya kali ini. Tak terpikir lagi olehnya mengingkari ketetapan hatinya. Yang ia pikir justru bagaimana memulai ‘kehidupan’ barunya terutama dalam menjalani sisa bulan Ramadhan ini sebaik-baiknya. Ia ingin menebus apa yang telah diabaikannya selama ini dengan ibadah dan menimba ilmu sebanyak-sebanyaknya. Ia sadar bahwa imannya masih lemah dan ilmu agamanya masih dangkal. Karena itu ia harus banyak sharing dengan sahabat-sahabatnya dan ahli agama yang bersedia dengan ikhlas membantunya.
Dalam sunyi malam itu bibirnya sempat berbisik lirih.

“Ya Allah, dinginkan panasnya kalbu ini dengan salju keyakinan,
Padamkan bara jiwa ini dengan air keimanan, dan
Tuangkan dalam nafsu yang bergolak ini kedamaian…”

 (doa ini di adaptasi dari karya ‘Aidh al-Qarni dalam La Tahzan)

Singkawang,  Ramadhan 1431 H