Oleh : Mohammad
Amin
Suhu panas
konstelasi politik nasional (pilpres) diakui atau tidak telah merambah hingga
ke akar rumput. Suasana tersebut sangat terasa dalam berbagai perbincangan di
berbagai tempat dan kesempatan. Mulai dari seminar di hotel berbintang hingga
obrolan santai warung kopi di tepi jalan. Mulai dari diskusi di auditorium
kampus hingga debat kusir di lorong kakus. Hal ini tidak bisa dihindari
terutama akibat mengerucutnya calon presiden dan wakilnya hanya pada dua kubu,
yaitu pasangan Prabowo Subianto–Hatta Rajasa dan Joko Widodo–Jusuf Kalla. Massa
pendukung pun terbelah dua. Dua kubu tersebut kemudian berhadap-hadapan secara
diametral dimana kondisi ini pada akhirnya juga menggiring para pendukung
keduanya ‘bertemu’ secara frontal.
Parahnya lagi, ibarat menanam jamur di musim hujan, hal
tersebut terjadi di tengah kondisi pemahaman dan prilaku politik (political
behaviour) masyarakat Indonesia yang masih rendah terhadap substansi
politik. Bahwa bagi sebagian politisi, hakikat politik adalah siapa mendapat
apa, kapan dan bagaimana, sehingga untuk itu tidak ada yang abadi dalam politik
kecuali kepentingan. Sementara bagi masyarakat awam, pilihan politik telah
menjadi bagian dari harga diri yang harus diperjuangkan dengan cara apapun.
Akhirnya muncullah fanatisme politik yang bisa berakibat fatal dan bahkan
kontraproduktif dengan orientasi demokrasi itu sendiri. Seperti kasus yang
baru-baru ini terjadi, ketika dua orang tukang becak yang terlibat adu jotos
gara-gara perbedaan capres-cawapres yang menjadi jagoannya.
Secara intrinsik,
realitas di atas juga terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat atau bahkan
praktisi politik di negeri ini akan perbedaan antara lawan politik (political
opponent) dan musuh politik (political enemy). Akibat kekaburan
dalam melihat dan membedakan dua hal ini akhirnya berpengaruh pada cara pandang
dan sikap bahkan cara bertindak mereka.
Di dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia online, terlihat bahwa kata musuh memang memiliki
kedekatan arti dengan lawan. Namun, keduanya juga memiliki pengertian khas
masing-masing yang tidak dimiliki oleh yang lainnya. Kata musuh juga bisa
berarti sebagai sesuatu yang mengancam (kesehatan, keselamatan); yang
merusakkan. Sementara kata lawan memiliki arti khas pasangan; teman. Dalam
penggunaan sehari-hari, kedua istilah ini juga tidak selalu cocok dalam
paduannya dengan kata yang lain. Misalnya ‘lawan bicara’ tidak bisa kita ganti
dengan ‘musuh bicara’ atau ‘berlawanan arah’ tidak bisa kita ganti dengan
‘bermusuhan arah’. Di sisi lain, setiap yang dianggap ‘musuh’ akan selalu
pantas disebut juga ‘lawan’. Sehingga bisa disimpulkan, bahwa lawan tidaklah
selalu musuh tapi musuh pastilah lawan.
Dalam konteks
politik, perbedaan partai, caleg, atau capres-cawapres sesungguhnya masih dalam
kategori ‘lawan’. Karena dengan keberadaannya justru untuk memperteguh dan
mempertegas eksistensi yang lainnya. Adanya lawan akan membuat seseorang atau
kelompok akan berusaha meningkatkan daya juangnya sekaligus menjadi barometer
untuk mengukur kekurangan dan kelebihannya. Seperti kata orang bijak, ‘lawan
debat’ adalah ‘kawan berfikir’, atau kalau dalam olah raga tinju adalah sebagai
sparring partner. Selain itu, meskipun berbeda platform, pada prinsipnya
semua kontestan politik memiliki arah dan tujuan yang relatif sama, yaitu untuk
mewujudkan idealisme bangsa dan negara Republik Indonesia sebagaimana terangkum
dalam Pancasila dan UUD 1945. Tidak bisa dibayangkan kalau misalnya hanya ada
satu partai saja, atau satu calon presiden saja. Tentu kontestasi akan berjalan
sangat membosankan, tidak menarik dan bahkan tidak kompetitif.
Dengan demikian,
adanya lawan haruslah dilihat dari sudut pandang positif. Sehingga kalaupun
harus bersaing dalam mencari dukungan tapi tetap dengan mengedepankan cara-cara
yang etis dan konstruktif. Bahkan akan lebih bagus lagi jika cara-cara menarik
dukungan tersebut dikemas dengan lebih kreatif sehingga membuat pesta demokrasi
ini berjalan atraktif dan bisa lebih menarik minat pemilih sehingga dapat
mengurangi angka golput yang masih cukup besar.
Tapi apa yang
terjadi dengan situasi politik mutakhir justru menunjukkan realitas sebaliknya.
Karena ‘lawan politik’ ditafsirkan secara keliru sebagai ‘musuh politik’ yang
dianggap membahayakan atau mengancam eksistensi, akhirnya cara-cara kotor dan
destruktif masih menjadi primadona para pendukung capres-cawapres. Pembunuhan
karakter (character assasination) dengan kampanye hitam (black
campaign) masih sangat terasa di berbagai media. Informasi berbau SARA
masih begitu mewarnai dalam banyak berita. Bahkan dalam jajak pendapat Tim
Litbang “Kompas” yang direlease Senin (9/6) lalu menyebutkan bahwa hampir 50%
responden menganggap bahwa serangan-serangan kepada pribadi para capres melalui
kampanye hitam sudah berlebihan. Hal ini tentu sangat tidak produktif bagi
peningkatan mental politik warga negara Indonesia yang konon sedang menuju ke
ranah perpolitikan modern.
Sementara itu
disisi lain ‘musuh politik’ yang semestinya menjadi musuh bersama (common
enemy) justru terabaikan. Dalam kamus Wikipedia disebutkan bahwa kata
‘musuh’ adalah istilah untuk sesuatu yang dipandang sebagai yang akan merugikan
atau menjadi sebuah ancaman bagi yang lain. Dengan pengertian ini, maka yang
sesungguhnya akan merugikan dan menjadi ancaman serius bagi perpolitikan di
negeri ini bahkan mungkin ancaman bagi keberlangsungan demokrasi sehingga harus
dijadikan ‘musuh bersama’ justru saat ini sedang membayang-bayangi kita semua.
Jika dilihat dari
berbagai varian pengertian politik menurut para ahli, maka ada beberapa ancaman
serius yang harus dijadikan sebagai ‘musuh politik’ bersama bagi kita semua
khususnya para politisi baik saat sedang berjuang meraih kekuasaan maupun
ketika sudah menduduki singgasana nanti.
Pertama, jika
politik diartikan sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan
kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles) maka saat ini kita semua masih
dihadapkan pada permasalahan yang cukup serius dalam hal kesejahteraan warga,
dimana angka kemiskinan di negeri diyakini masih cukup tinggi. Menurut Badan
Pusat Statistik (BPS) yang setiap tahunnya merilis tingkat kemiskinan Indonesia,
pada akhir tahun 2013 lalu indeks kedalaman kemiskinan naik dari 1,75% (Maret
2013) menjadi 1,89%. Kemudian indeks keparahan kemiskinan naik dari 0,43%
(Maret) menjadi 0,48%. BPS juga mencatat bahwa angka kemiskinan meningkat
terbesar di pulau Jawa, kemudian Sumatera, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara,
Maluku, Papua serta Kalimantan. Jumlah penduduk miskin pada September 2013
sebesar 28,55 juta orang atau 11,47 persen, jika dibandingkan Maret 2013 maka
jumlah tersebut mengalami peningkatan sebanyak 480 ribu orang.
Kedua, jika politik
dipahami sebagai hal yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara maka saat ini masih sering kita
jumpai berbagai praktek penyimpangan kekuasaan (abuse of power) yang
terjadi baik di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Salah satu
contoh adalah praktek korupsi yang masih menggurita hingga saat ini.
Sebagaimana hasil survei Transparansi Internasional (TI), sebuah organisasi non
profit yang memiliki perhatian khusus dan kerap melakukan survei soal korupsi, yang
pada akhir tahun lalu mengeluarkan
daftar terbaru indeks persepsi korupsi tahun 2013. Hasilnya menunjukkan bahwa Indonesia
berada di posisi ke-114 dengan indeks persepsi 32. Posisi ini sangat jauh bila
dibandingkan dengan posisi Singapura, yang menjadi satu-satunya negara Asia
bertengger di posisi ke-5 dengan indeks persepsi 86.
Temuan Global
Corruption Barometer 2013 (GCB 2013) menempatkan parlemen dan partai
politik sebagai lembaga yang korup dalam persepsi dan pengalaman masyarakat.
Parlemen menduduki peringkat kedua terkorup (setelah Kepolisian) dari 12
lembaga publik yang dinilai. Sementara partai politik berada pada peringkat
ke-4 terkorup. (sumber: www.ti.or.id)
Ketiga, jika
politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan di masyarakat maka hal sangat terkait dengan proses penyelenggaraan
pemilihan umum (PEMILU) baik pemilu legislatif maupun eksekutif. Sudah menjadi
asumsi publik bahwa hingga saat ini pelaksanaan pemilu di negeri ini masih
carut marut dengan berbagai praktek pelanggaran di dalamnya. Pada Pemilu
Legislatif bulan April lalu misalnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat
jumlah pelanggaran yang terjadi mencapai 3.507 kasus. Dari jumlah tersebut, 209
pelanggaran masuk kategori pidana, sedangkan 3.238 merupakan pelanggaran
administratif. Selain itu, ditemukan juga pelanggaran kode etik yang dilakukan
penyelenggara pemilu sebanyak 42 kasus.
Berbagai kasus
pelanggaran Pemilu (electoral fraud) yang terjadi antara lain, adanya
berbagai praktik kecurangan seperti politik uang (money politik), penggelembungan
suara, penggunaan fasilitas negara saat kampanye, kampanye di luar jadwal,
pelanggaran kode etik dan pelanggaran administratif lainnya. Indonesia
Indicator (I2) –sebuah lembaga riset berbasis piranti lunak Artificial
Intelligence (AI) untuk menganalisis indikasi politik, ekonomi, sosial di
Indonesia melalui pemberitaan (media mapping) mengungkapkan bahwa selama
pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014 yang lalu pelanggaran yang terjadi
didominasi oleh kasus politik uang, ini tentu realitas yang menyedihkan bagi
masa depan demokrasi kita.
Selain tiga hal di
atas, sesungguhnya masih banyak ‘pekerjaan rumah’ politik (baca: aktor politik)
yang harus diselesaikan demi mewujudkan cita-cita pendiri bangsa dan negara
ini. Harapan kita, di tengah hiruk pikuk pesta demokrasi yang sedang
berlangsung saat ini, jangan sampai kita salah kaprah dengan menguras tenaga
bahkan melalui segala cara untuk menjatuhkan ‘lawan politik’ tapi malah lupa
dengan ‘musuh politik’ yang seharusnya dibasmi bersama. Padahal idealnya, kita
harus melawan musuh, tapi tidak boleh memusuhi lawan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar